Kamis, 23 Juni 2011

Konsep Az-Zarnuji


PEMBAHASAN

2.1       Biografi Az Zarnuji
            Nama lengkapnya adalah Burhanuddin Al-Islam Al-Zarnuji. Tanggal kelahirannya belum diketahui secara pasti. Mengenai tanggal wafatnya, terdapat dua pendapat. Ada yang mengatakan beliau wafat pada tahun 591 H/1195 M, dan ada pula yang mengatakan beliau wafat pada tahun 840 H/1243 M. Hidup beliau semasa dengan Ridha Al-Din Al-Naisari, antara tahun 500-600 H. Tidak ada keterangan yang pasti mengenai tempat kelahirannya. Namun dilihat dari nisbahnya, Az Zarnuji, maka sebagian peneliti mengatakan bahwa beliau berasal dari zarnuji, suatu daerah yang kini dikenal dengan nama Afghanistan.[1]
            Az Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan samarkand, dua kota yang menjadi pusat keilmuan dan pengajaran. Masjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim, yang diasuh antara lain oleh Burhanuddin Al-Marginani, Syamsuddin Abd Al-Wajdi Muhammad bin Muhammad bin Abd dan Al-Sattar Al-Amidi. Selain itu,       Az Zarnuji juga belajar pada Rukn Al-Din Al-Firqinani, seorang ahli Fiqh, satrawan dan penyair (w. 594 H/1196 M), Hammad bin Ibrahim, seorang ahli ilmu kalam, sastrawan dan penyair (w. 564 H/1170 M) dan Rukn Al-Islam Muhammad bin Abi Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fiqh, sastra dan syair (w. 573 H/1177 M).
            Az Zarnuji, selain ahli dalam bidang pendidikan dan tasawuf, juga menguasai      bidang-bidang lain seperti sastra, fiqh, ilmu kalam dan sebagainya.
2.2       Situasi Pendidikan pada Zaman Az Zarnuji
            Dalam sejarah pendidikan Islam, terdapat lima tahap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan. Pertama, pendidikan pada masa Nabi Muhammad saw. (571-632 M). Kedua, pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M). Ketiga, pendidikan pada masa Bani Umayyah di Damsyik (661-750 M). Keempat, pendidikan pada masa jatuhnya khalifah di Baghdad (1250-sekarang).
            Dari periodisasi di atas, Az Zarnuji hidup pada masa keempat dari periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, antara 750-1250 M. Dalam catatan sejarah, periode ini merupakan zaman keemasan peradaban Islam, terutama dalam bidang pendidikan Islam. Pada masa itu kebudayaan Islam berkembang pesat dengan ditandai oleh tumbuhnya berbagai lembaga pendidikan, mulai tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Di antaranya adalah Madrasah Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizham Al-Mulk (457-1106 M), Madrasah Al-Nuriyah Al-Kubra, didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zanki (563-1167 M), Madrasah Al-Mustansyirah didirikan oleh khalifah Abbasyiah, Al-Mustansir Billah di Baghdad (631 H/1234 M).
            Selain ketiga madrasah tersebut, masih banyak lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang pesat pada zaman Az zarnuji hidup. Dengan informasi tersebut, tampak jelas bahwa beliau hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam mengalami puncak kejayaan, yaitu pada masa Abbasyiah yang ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir Islam ensiklopedik yang sukar ditandingi. Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tersebut sangat menguntungkan bagi pembentukan Az Zarnuji sebagai seorang ilmuwan atau ulama yang luas pengetahuannya.[2]
2.3       Konsep Pendidikan Az Zarnuji
            Konsep pendidikan beliau tertuang dalam karya monumentalnya, kitab “Ta’lim         al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum”. Kitab ini diakui sebagai karya yang monumental dan sangat diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini juga banyak dijadikan bahan penelitian dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah, terutama dalam bidang pendidikan. Kitab ini tidak hanya digunakan oleh ilmuwan Muslim saja, tetapi juga dipakai oleh para orientalis dan penulis barat.
            Keistimewaan lain dari kitab Ta’lim Muta’allim ini terletak pada materi yang dikandungnya. Meskipun kecil dan dengan judul yang seakan-akan hanya membahas metode belajar, sebenarnya esensi kitab ini juga mencakup tujuan, prinsip-prinsip dan strategi belajar yang didasarkan pada moral religius. Kitab ini tersebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini juga dicetak dan diterjemahkan serta dikaji di berbagai dunia, baik di Timur maupun di Barat.
            Di Indonesia, kitab Ta’lim Muta’allim dikaji dan dipelajari hampir di setiap lembaga pendidikan klasik tradisional seperti pesantren, bahkan di pondok pesantren modern. Dari pembahasan kitab ini, dapat diketahui tentang konsep pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji, antara lain:
1.        Hakikat ilmu dan keutamaannya
2.        Niat belajar
3.        Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar
4.        Menghormati ilmu dan ulama
5.        Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat
6.        Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya
7.        Tawakkal kepada Allah SWT
8.        Saat terbaik untuk belajar
9.        Kasih sayang dan memberi nasehat
10.    Mengambil pelajaran
11.    Wara’ (menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar
12.    Penyebab hafal dan lupa
13.    Masalah rezeki dan umur
1.        Hakikat ilmu dan keutamaannya
Belajar itu hukumnya fardlu bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian, menurut Az zarnuji manusia tidak diwajibkan mempelajari segala macam ilmu, tetapi hanya diwajibkan mempelajari ilm al hal (pengetahuan-pengetahuan yang selalu dperlukan dalam menjunjung kehidupan agamanya). Dan sebaik-baik amal adalah menjaga hal-hal.[3]
            Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu yang diperlukan setiap saat. Karena manusia diwajibkan shalat, puasa dan haji, maka ia juga diwajibkan mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara pada perbuatan wajib, maka wajib pula hukumnya.
            Demikian pula, manusia wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan berbagai pekerjaan atau kariernya. Seseorang yang sibuk dengan tugas kerjanya (misalnya berdagang), maka ia wajib mengetahui bagaimana cara menghindari haram. Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu ahwal al-qalb, seperti tawakkal, ridla dan sebagainya.
            Akhlak yang baik dan buruk serta cara menjauhinya, menurut Az Zarnuji juga harus dipelajari, agar ia senantiasa bisa menjaga dan menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Mempelajari ilmu yang kegunaannya hanya dalam waktu-waktu tertentu, hukumnya fardlu kifayah seperti ilmu shalat jenazah. Dengan demikian, seandainya ada sebagian penduduk kampung telah melaksanakan fardlu kifayah tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Tetapi jika seluruh penduduk kampung tersebut tidak melaksanakannya, maka seluruh penduduk itu menanggung dosa. Dengan kata lain, ilmu fardlu kifayah adalah di mana setiap umat Islam sebagai suatu komunitas diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi, dan lain sebagainya.[4]
            Sedangkan mempelajari ilmu yang tidak ada manfaatnya atau bahkan membahayakan adalah haram hukumnya seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal). Sebab, hal itu sesungguhnya tidak bermanfaat dan justru membawa marabahaya karena lari dari kenyataan takdir Allah tidak akan mungkin terjadi. Ilmu menurut Az Zarnuji adalah sifat yang kalau dimiliki oleh seseorang, maka menjadi jelaslah apa yang terlintas di dalam pengertiannya. Adapun fiqh adalah pengetahuan tentang              kelembutan-kelembutan ilmu. Sedangkan mengenai keutamaan ilmu, Az Zarnuji mengutip ungkapan seorang penyair sebagai berikut:
Belajarlah, karena ilmu adalah hiasan bagi penyandangnya, keutamaan dan tanda semua akhlak yang terpuji. Usahakanlah, setiap hari menambah ilmu dan berenanglah di lautan ilmu yang bermanfaat. Belajarlah ilmu fiqh, karena ia pandu yang paling utama pada kebaikan, taqwa dan adilnya orang yang paling adil. Ia adalah tanda yang membawa pada jalan petunjuk, ia adalah benteng yang menyelamatkan dari segala kesulitan. Karena seorang ahli fiqh yang menjauhi perbuatan haram adalah lebih membahayakan bagi setan dari pada seribu orang yang beribadah.      
2.        Niat belajar
Mengenai niat dan tujuan belajar, Az Zarnuji mengatakan bahwa niat yang benar dalam belajar adalah untuk mencari keridlaan Allah SWT., memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, dan mensyukuri nikmat Allah.
     Sehubungan dengan hal ini, Az Zarnuji mengingatkan agar setiap penuntut ilmu tidak sampai keliru menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar yang diniatkan untuk mencari pengaruh, mendapatkan kenikmatan duniawi atau kehormatan dan kedudukan tertentu. Jika masalah niat ini sudah benar, tentu ia akan merasakan kelezatan ilmu dan amal serta berkuranglah kecintaannya pada harta dunia.[5]
3.        Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar
Peserta didik hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan agamanya pada waktu itu, lalu yang untuk waktu mendatang. Ia perlu mendahulukan ilmu tauhid dan ma’rifat beserta dalilnya. Semikian pula, perlu memilih      ilmu ‘atiq (kuno).
Dalam memilih pendidik hendaknya mengambil yang lebih wara’, alim, berlapang dada dan penyabar. Dan peserta didik juga harus sabar dan tabah dalam belajar kepada pendidik yang telah dipilihnya serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.
Peserta didik hendaknya memilih teman yang tekun, wara’, jujur, dan mudah memahami masalah. Dan perlu menjauhi pemalas, banyak bicara, penganggur, pengacau dan pemfitnah. Seorang penyair mengatakan: “Teman durhaka lebih berbahaya dari pada ular yang berbisa demi Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke neraka Jahim sedangkan teman baik mengajakmu ke syurga Na’im.”

Di samping itu, Az Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik agar bermusyawarah dalam segala hal yang dihadapi. Karena ilmu adalah perkara yang sangat penting, tetapi juga sulit, maka bermusyawarah di sini menjadi lebih penting dan diharuskan pelaksanaannya.[6]
4.        Menghormati ilmu dan ulama
Menurut Az Zarnuji, peserta didik harus menghormati ilmu, orang yang berilmu dan pendidiknya. Sebab apabila melukai pendidiknya, berkah ilmunya bisa tertutup dan hanya sedikit kemanfaatannya. Sedangkan cara menghormati pendidik di antaranya adalah tidak berjalan di depannya, tidak menempati tempat duduknya, tidak memulai mengajak bicara kecuali atas izinnya, tidak bicara macam-macam di depannya, tidak menanyakan suatu masalah pada waktu pendidiknya lelah, dan tidak duduk tertalu dekat dengannya sewaktu belajar kecuali karena terpaksa. Pada prinsipnya, peserta didik harus melakukan hal-hal yang membuat pendidik rela, menjauhkan amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak bertentangan dengan agama Allah.
Termasuk menghormati ilmu adalah menghormati pendidik dan kawan serta memuliakan kitab. Oleh karena itu, peserta didik hendaknya tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci. Demikian pula dalam belajar, hendaknya juga dalam keadaan suci. Sebab ilmu adalah cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin bersinarlah cahaya ilmu itu dengan wudlu. Peserta didik hendaknya juga memperhatikan catatan, yakni selalu menulis dengan rapi dan jelas, agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Di samping itu, peserta didik hendaknya dengan penuh rasa hormat, ia selalu memperhatikan secara seksama terhadap ilmu yang disampaikan padanya, sekalipun telah diulang seribu kali penyampaiannya.
Untuk menentukan ilmu apa yang akan dipelajari, hendaknya ia musyawarah dengan pendidiknya, sebab pendidik sudah lebih berpengalaman dalam belajar serta mengetahui ilmu pada seseorang sesuai bakatnya. Az Zarnuji juga mengingatkan agar peserta didik selalu menjaga diri dari akhlak tercela, terutama sikap sombong.
5.        Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat
Peserta didik harus sungguh-sungguh di dalam belajar dan mampu mengulangi pelajarannya secara kontinu pada awal malam dan di akhir malam, yakni waktu antara maghrib dan isya’ dan setelah waktu sahur, sebab waktu-waktu tersebut kesempatan yang memberkahi.
Peserta didik jangan sampai membuat dirinya terlalu kepayahan, sehingga lemah dan tidak mampu berbuat sesuatu. Kesungguhan dan  minat yang kuat adalah merupakan pangkal kesuksesan. Oleh karena itu, barang siapa mempunyai minat yang kuat untuk menghafal sebuah kitab misalnya. Maka menurut ukuran lahiriyah, tentu ia akan mampu menghafalnya, separuh, sebagian besar, atau bahkan seluruhnya.
6.        Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya
Belajar hendaknya dimulai pada hari rabu, sebab hari itu Allah menciptakan nur (cahaya), hari sialnya orang kafir yang berarti hari berkahnya orang mukmin. Bagi pemula hendaknya mengambil pelajaran yang sekiranya dapat dikuasai dengan baik setelah di ulangi dua kali. Kemudian tiap hari ditambah sedikit demi sedikit, sehingga apabila telah banyak masih mungkin dikuasai secara baik dengan mengulanginya dua kali, seraya ditambah sedikit demi sedikit lagi. Selain itu, untuk pemula hendaknya dipilihkan kitab-kitab yang kecil, sebab dengan begitu akan lebih mudah dimengerti dan dikuasai dengan baik serta tidak menimbulkan kebosanan. Ilmu yang telah dikuasai dengan baik, hendaknya dicatat dan diulangi berkali-kali. Jangan sampai menulis sesuatu yang tidak dipahami, sebab hal itu bisa menumpulkan kecerdasan dan waktupun hilang dengan sia-sia belaka.
Diskusi, menurut Az zarnuji juga perlu dilakukan oleh peserta didik. Manfaat diskusi lebih besar dari pada sekedar mengulangi, sebab dalam diskusi, selain mengulangi juga menambah ilmu pengetahuan. Az Zarnuji juga mengingatkan agar diskusi dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta menghindari hal-hal yang membawa akibat negatif.
Peserta didik hendaknya membiasakan diri senang membeli kitab. Sebab hal itu akan bisa memudahkan ia belajar dan menelaah pelajarannya. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha sedapat mungkin menyisihkan uang sakunya untuk membeli kitab. Menurut Az Zarnuji peserta didik di masa dahulu belajar bekerja dulu, baru kemudian belajar, sehingga tidak tamak kepada harta orang lain.
7.        Tawakkal kepada Allah SWT
Dalam belajar, peserta didik harus tawakkal kepada Allah dan tidak tergoda oleh urusan rezeki. Peserta didik hendaknya tidak digelisahkan oleh urusan duniawi, karena kegelisahan tidak bisa mengelakkan musibah, bahkan membahayakan hati, akal, badan dan merusak perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha untuk mengurangi urusan duniawi.
Peserta didik hendaknya bersabar dalam perjalanannya mempelajari ilmu. Perlu disadari bahwa perjalanan mempelajari ilmu itu tidak akan terlepas dari kesulitan, sebab mempelajari ilmu merupakan suatu perbuatan yang menurut kebanyakan ulama lebih utama dari pada berperang membela agama Allah. Siapa yang bersabar menghadapi kesulitan dalam mempelajari ilmu, maka ia akan merasakan lezatnya ilmu melebihi segala kelezatan yang ada di dunia.
8.        Saat terbaik untuk belajar
Masa belajar adalah semenjak dari buaian hingga masuk liang lahat. Adapun masa yang cemerlang untuk belajar adalah awal masa muda. Belajar dilakukan pada waktu sahur dan waktu antara maghrib dan isya’. Namun sebaiknya peserta didik memanfaatkan seluruh waktunya untuk belajar. Bila telah merasa bosan mempelajari suatu ilmu hendaknya mempelajari ilmu yang lain.
9.        Kasih sayang dan memberi nasehat
Orang alim hendaknya memiliki rasa kasih sayang, mau memberi nasehat dan jangan berbuat dengki. Peserta didik hendaknya selalu berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Dengan demikian orang yang benci akan luluh sendiri. Jangan berburuk sangka dan melibatkan diri dalam permusuhan, sebab hal itu hanya menghabiskan waktu serta membuka aib sendiri.
10.    Mengambil pelajaran
Peserta didik hendaknya memanfaatkan semua kesempatannya untuk belajar, hingga dapat mencapai keutamaan. Caranya dengan menyediakan alat tulis disetiap saat untuk mencatat hal-hal ilmiah yang diperolehnya.
Az zarnuji mengingatkan bahwa umur itu pendek dan ilmu itu banyak. Oleh karena itu peserta didik jangan sampai menyia-nyiakan waktunya, hendaklah ia selalu memanfaatkan waktu-waktu malamnya dan saat-saat yang sepi. Di samping itu peserta didik hendaknya berani menderita dan mampu menundukkan hawa nafsunya.
11.    Wara’ (menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar
Di waktu belajar hendaknya peserta didik berlaku wara’, sebab dengan begitu ilmunya akan lebih bermanfaat, lebih besar faedahnya dan belajarpun lebih mudah. Sedangkan yang termasuk perbuatan wara’ antara lain menjaga diri dari terlalu kenyang, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Di samping itu, jangan sampai mengabaikan adab kesopanan dan perbuatan-perbuatan sunnah. Hendaknya memperbanyak shalat dan melaksanakannya secara khusyuk, sebab hal itu akan membantunya dalam mencapai keberhasilan studinya. Dalam hal ini Az Zarnuji juga mengingatkan kembali agar peserta didik selalu membawa buku untuk dipelajari dan alat tulis untuk mencatat segala pengetahuan yang didapatkannya.ada ungkapan bahwa barang siapa tidak ada buku di sakunya maka tidak ada hikmah dalam hatinya.
12.    Penyebab hafal dan lupa
Yang paling kuat menyebabkan mudah hafal adalah kesungguhan, kontinu, mengurangi makan, melaksanakan shalat malam, membaca al-Quran, banyak membaca shalawat Nabi dan berdoa sewaktu mengambil buku serta seusai menulis.
Adapun penyebab mudah lupa antara lain perbuatan maksiat, banyak dosa, gelisah karena urusan-urusan duniawi dan terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi.
13.    Masalah rezeki dan umur
Peserta didik perlu mengetahui hal-hal yang bisa menambah rizki, umur dan lebih sehat, sehingga dapat mencurahkan segala kemampuannya untuk mencapai apa yang       dicita-citakan.
Bangun pagi-pagi itu diberkahi dan membawa berbagai macam kenikmatan, khususnya rizki. Banyak bersedekah juga bisa menambah rizki. Adapun penyebab yang paling kuat untuk memperoleh rizki adalah shalat dengan ta’zhim, khusyu’ sempurna rukun, wajib, sunnah dan adatnya. Di antara faktor penyebab tambah umur adalah berbuat kebajikan, tidak menyakiti orang lain, bersilaturrahim dan lain sebagainya. Terlalu berlebihan dalam membelanjakan harta, bermalas-malasan, menunda-nunda dan mudah menyepelekan suatu perkara, semua itu bisa mendatangkan kefakiran seseorang.
Menurut Az zarnuji, peserta didik juga harus belajar ilmu kesehatan dan dapat memanfaatkannya dalam menjaga kesehatan dirinya. Demikianlah deskripsi isi kitab Ta’lim         al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum karya Az Zarnuji. Beliau menulis kitab seperti itu, karena di masanya beliau mengetahui banyak peserta didik yang telah belajar dengan             sungguh-sungguh, tetapi tidak bisa menyiarkannya. Menurut Az zarnuji hal tersebut dikarenakan mereka salah jalan dan meninggalkan syarat-syarat yang seharusnya mereka penuhi. Oleh karena itu, beliau menulis kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum dengan maksud menjelaskan kepada para peserta didik tentang cara yang seharusnya mereka tempuh agar tidak salah jalan, sehingga studi yang ditempuhnya bisa berhasil secara optimal dan bermanfaat. 
2.4       Pemikiran Az Zarnuji tentang pola hubungan guru dan murid
            Ada beberapa pemikiran Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq           al-Ta’allum yang memberi acuan terhadap pola hubungan guru dan murid.
·           Murid tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat tanpa adanya pengagungan dan pemuliaan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya (guru), menjadi semangat dan dasar adanya penghormatan murid terhadap guru. Posisi guru yang mengajari ilmu walaupun hanya satu huruf dalam konteks keagamaan disebut bapak spiritual, sehingga kedudukan guru sangat terhormat dan tinggi, yang memberi konsekuensi bagi sikap dan perilaku murid sebagai manifestasi penghormatan terhadap guru baik dalam lingkungan formal maupun nonformal. Sementara tingginya ilmu yang dimiliki oleh guru, menjadikan fungsi guru sebagai dokter, menunjukkan nilai kepercayaan dan pentingnya nasehat bagi murid dalam mencapai tujuan belajar yang optimal.
·           Kontekstualisasi hubungan guru murid menurut Az Zarnuji, menunjukkan bahwa penempatan guru pada posisi terhormat terkait oleh sosok guru yang ideal. Yaitu guru yang memenuhi kriteria dan kualifikasi kepribadian sebagai guru yang memiliki kecerdasan ruhaniyah dan tingkat kesucian tinggi, di samping kecerdasan intelektual. Dalam bahasa Az Zarnuji, guru ideal adalah guru yang alim, wira’i dan mempunyai kesalehan sebagai aktualisasi keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab terhadap amanat yang diemban untuk menggapai ridla Allah swt.[7]
Dengan demikian, pemikiran Az Zarnuji berupaya membawa lingkungan belajar pada tingkat ketekunan dan kewibawaan guru dalam ilmu dan pengajarannya. Sedangkan murid sebagai individu yang belajar, menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam belajar sebagai manifestasi daya juang dalam pencapaian ilmu yang diajarkan oleh guru dalam rangka mencari ridla Allah SWT. dan untuk menuai kemanfaatannya. Karena itu, pola hubungan guru dan murid yang tercipta adalah pola hubungan timbal balik yang menempatkan posisi guru dan murid sesuai proporsi masing-masing menuju tercapainya tujuan pendidikan yang optimal, yaitu terbentuknya pribadi yang berakhlakul karimah.
2.5       Metode pembelajaran
            Dalam kitab Ta’lim Muta’allim Az Zarnuji menjelaskan bahwa metode pembelajaran meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik mencakup niat dalam belajar. Kedua, metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar.
1)      Cara memilih pelajaran; bagi orang yang mencari ilmu sebaiknya mendahulukan memilih/mempelajari ilmu yang dibutuhkan dalam urusan-urusan agamanya, seperti ilmu tauhid.
2)      Cara memilih guru; sebaiknya memilih guru yang lebih alim, wara’ dan umurnya lebih tua dari kita.
3)      Cara memilih teman; mencari teman yang rajin, wara’ dan berwatak baik, mudah paham akan pelajaran, tidak malas, tidak banyak bicara dan lain sebagainya.
4)      Langkah-langkah dalam belajar; mengenai hal ini, termasuk juga aspek teknik pembelajaran, menurut Grunebaum dan Abel, terdapat lima hal yang menjadi sorotan Az Zarnuji, yaitu (1) the curruculum and subject matter, (2) the choice of setting and teacher, (3) the time for study, (4) dynamics of learning, (5) the student’s relationship to other.[8]
2.6       Relevansinya dengan sistem pendidikan kontemporer
             Konsep pendidikan yang tertuang dalam kitab  Ta’lim al-Muta’allim Thuruq                       al-Ta’allum karya Az Zarnuji, relatif bagus dalam persoalan bimbingan belajar. Hanya saja ketika mempelajari konsep pendidikan Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim harus disertai dengan pemahaman yang dalam, karena belum tentu apa yang dikonsepsikan oleh     Az Zarnuji dapat pula diterapkan pada saat ini. Seperti membaca tulisan pada nisan dapat menyebabkan lupa, menyapu di malam hari dapat menghambat rizki. Hal-hal tersebut sudah tidak bisa lagi diterapkan karena sudah dipandang tidak logis.
            Sebenarnya bila dikaji lagi banyak sekali hal-hal yang yang masih relevan untuk diterapkan sebagaimana juga ada beberapa pendapat beliau yang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, tidak baik untuk menolak isi kitab ini begitu saja, sama juga dengan tidak bijaknya menerima begitu saja tanpa mencari kebenarannya.
            Maka jika kitab ini dikaji di pesantren, supaya tidak menimbulkan akses yang tidak diinginkan, sebaiknya diajarkan oleh seorang guru yang mempunyai pemahaman mendalam mengenai bimbingan belajar, sehingga bila memenuhi gagasan yang dianggap kurang relevan dengan zaman sekarang, bisa mengadakan reinterpretasi atau merefleksikan dengan masa        Az Zarnuji hidup.
            Karya besar ini sebenarnya dapat dan sangat bisa diterapkan ke arah luar pesantren baik itu madrasah atau sekolah-sekolah umum. Karena bisa diketahui dari analisis konsep pendidikan Az Zarnuji cukup banyak yang masih relevan dan baik untuk diajarkan dan ditanamkan sejak dini.
            Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang yang seringkali dimunculkan untuk menyudutkan Ta’lim adalah aspek kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, Az Zarnuji sendiri tidak pernah menganjurkan murid “mengiyakan” kesalahan guru. Pada dasarnya pendidikan yang berhasilbukanlah diciptakan oleh sekolah dan pesantren saja, akan tetapi dukungan dari semua pihak yaitu orang tua dan guru sebagai teladan dan lingkungan sebagai pengaruh pergaulan terbesar dalam hidup seorang anak. Dan hal ini memang sangat sulit sekali karena memang semua orang bisa memberikan mauidlatul hasanah namun hanya orang-orang pilihan yang mampu menjadi uswatun hasanah.
Kalaupun misalnya hal itu benar-benar ada dan memang pengaruh Ta’lim Muta’allim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan jawa yang masih belum sepenuhnya mati.
            Kontekstualisasi terhadap hubungan guru dan murid saat sekarang adalah pemahaman terhadap pemikiran Az Zarnuji yang signifikan yang bernafas pada religius ethics. Dengan mengambil nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam pemikiran Az zarnuji tersebut, berarti kita telah menggali dan menghidupkan kembali nilai-nilai etika dalam proses pendidikan dan sekaligus menjadikannya sebagai dasar pembentukan akhlak dan landasan dam membina hubungan yang harmonis antara guru dengan murid yang berorientasi pada hubungan yang etis-humanis.
PENUTUP

1.1              Kesimpulan
Konsep pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji, antara lain: (1) Hakikat ilmu dan keutamaannya; (2) Niat belajar; (3) Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar; (4) Menghormati ilmu dan ulama; (5) Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat; (6) Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya; (7) Tawakkal kepada                   Allah SWT; (8) Saat terbaik untuk belajar; (9) Kasih sayang dan memberi nasehat;                       (10) Mengambil pelajaran; (11) Wara’ (menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar; (12) Penyebab hafal dan lupa; (13) Masalah rezeki dan umur
Menurut beliau tentang pola hubungan murid dan guru adalah sebagai berikut: Murid tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat tanpa adanya pengagungan dan pemuliaan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya (guru), menjadi semangat dan dasar adanya penghormatan murid terhadap guru. guru ideal adalah guru yang alim, wira’i dan mempunyai kesalehan sebagai aktualisasi keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab terhadap amanat yang diemban untuk menggapai ridla Allah swt.
Metode pembelajaran menurut beliau meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik mencakup niat dalam belajar. Kedua, metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar.
Beliau menulis kitab seperti itu, karena di masanya beliau mengetahui banyak peserta didik yang telah belajar dengan  sungguh-sungguh, tetapi tidak bisa menyiarkannya. Menurut Az zarnuji hal tersebut dikarenakan mereka salah jalan dan meninggalkan syarat-syarat yang seharusnya mereka penuhi. Oleh karena itu, beliau menulis kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum dengan maksud menjelaskan kepada para peserta didik tentang cara yang seharusnya mereka tempuh agar tidak salah jalan, sehingga studi yang ditempuhnya bisa berhasil secara optimal dan bermanfaat. 

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, 2010, Teori belajar dan pembelajaran,                             Jogjakarta: Ar-Ruzz media
Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, 2009, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Press
Jalaluddin dan Usman Said, 1996. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada.



[1] Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, 2010, Teori belajar dan pembelajaran, Jogjakarta: Ar-Ruzz media, hal. 50
[2] Ibid., hal. 51
[3] Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, 2009, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Press, hal. 268
[4] Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, op. Cit., hal. 53
[5] Ibid., hal. 54
[6] Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, op. Cit., hal 272
[7] Burhanuddin dan Esa nur Wahyuni, op. Cit., hal. 56
[8] Ibid., hal. 56

Selasa, 14 Juni 2011

Ushul fiqh

A.    Hukum Taklifie
1.      Pengertian hukum taklifie
Hukum taklifie adalah firman Allah swt yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sasuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.[1] Seperti pada surat An-Nur: 56, yang menunujukkan arti tuntutan untuk melakuakn perbuatan:
وَاَقِيْمُواالصَّلوةَ واتُواالزَّكوة واطِيْعُوالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ،  النور:56
“Dan dirikanlah sholat tunaikanlah zakat dan taaitlah rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Qs. An-nur: 56)
Surat Al-baqarah ayat: 188, yang menunjukkan arti tuntutan meninggalkan perbuatan:
 “Janganlah kamu memakan harta diantara kamu dengan jalan batil (Qs. Al-Baqarah: 188)
Dan pada surat Al-baqarah ayat: 187, yang menunjukkan arti memilih:
 “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.(Qs. Al-Baqarah: 187)
2.      Bentuk bentuk hukum taklifie
Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hikim taklifie: Pertama, bentuk-bentuk hukum taklifie menurut jumhurul ulam ushul fiqh atau mutakallimin. Menurut mereka bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam. Yaitu ijab, nadb, ibahah, karohah, dan tahrim. Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifie seperti iftiradh, ijab, nadb, ibahah, karohah tanzhiliyah, karohan tahrimiyah, dan tahrim.
Menurut Imam Syafi’i, penggolongan (didasarkan pada sanksinya) tersebut terdiri:
a.       Wajib
Perbuatan atas dasar perintah yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala kalau ditinggalkan akan berdosa.
Hukum wajib dapat dibedakan menjadi:
1). Ditinjau dari Segi Waktu untuk melaksanakannya:
a). Wajib al- muthlaq yaitu; perintah yang tidak ditentukkan waktu tertentu untuk melaksanakannya, misalnya ibadah haji bagi yang sudah mampu.
b). Wajib al-mu’aqqat yaitu; perintah yang ditentukkan waktu untuk melaksanakannya, misalnya puasa ramadhan.
2). Ditinjau dari Segi Siapa yang wajib melaksanakannya:
a). Wajib al-‘aini yaitu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang yang sudah dewasa, conoh: kewajiban melaksanakan shalat bagi orang yang mukallaf,
b). Wajib al-kifa’i yaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif, atau kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakannya tidak di tuntut untuk melaksanakannya, contoh: pelaksanaan shalat jenazah. Akan tetapi Wajib kifayah bisa menjadi wajib aini apabila yang bertanggung jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang. Contoh; menolong orang tenggelam disungai atau laut, orang yang menyaksikan itu semua terkena wajib kifayah untuk menolongnya, akan tetapi, jika orang yang menyaksikan hanya satu yang pandai berenang maka orang itu terkena wajib ain untuk menolongnya.[2]
3). Ditinjau dari segi kuantitasnya
a). Wajib al-muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan kadarnya (jumlahnya) oleh syara’. Contoh: jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah rakaat dalam shalat.
b). Wajib Ghairu al-muhaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukkan batas kadarnya, akan tetapi diserahkan kepada ulama dan pemimpin ummat untuk menentukannya. Contoh: penentuan hukuman dalam jarimah (tindak pidana diluar hudud dan qihash)
4). Ditinjau dari segi kendungan perintah
a). Wajib al-mu’ayyan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Contoh: shalat dan puasa pekerjaan yang pada dirinya adalah wajib, adanya harga dalam jual beli dll.
b). Wajib al-mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat dipilih dari alternative yang ada. Contohnya: kafarat sumpah itu terdiri atas memberimakan fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. [3]
b.      Sunnah
Perbauatan atas dasar suruhan atau anjuran yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala sedang jika ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam:
1). Sunnah ‘Amiyah yaitu perbuatan yang diajurkan untuk dilakukan oleh setiap muslim.
2). Sunnah Kifayah yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan cukup seorang saja.
3). Sunnah Mu’akkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh Rasul. Akan tetapi pekerjaan seperti ini jika ditinggalkan mendapat celaan, contohnya: shalat-halat sunnah sebelum shalat wajibadzan, berjamah dll.
Menurut Imam Muhammad Abu Zahra, pekerjaan seperti ini sebagai pendahuluan suatu pekerjaan yang wajib. Sedangkan Imam Asy-Syathibi mengatakan, bahwa mandhubatausunnah itu apabila ditinjau secara umum,  merupakan suatu pelayan dan pendahuluan dari yang wajib.
4). Sunnah Ghairu Mu’akkadah yaitu segala perbuatan tidak wajib kadang-kadang dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang saja ditinggalkan. Contohnya: shalat sunnah dhuha, puasa senin dan kamis, dll. Sunnah seperti ini disebut juga dengan istilah mushtahab atau nafilah.
5). Sunnah al-Zawaid atau Az-Zaidah yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasul sebagai manusia. [4] Contoh: cara tidur Nabi, cara makan, minum dll.
c.       Mubah
Yaitu kebolehan artinya boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Mubah dapat dibagi menjadi 3 macam:
1). Dinyatakan dalam syara’ tidak berdosa untuk melakukannya
2). Tidak ada dalil yang mengharamkan
3). Dinyatakan dalam syara’ boleh memilih dilakukan atau tidak.
d.      Makruh
Lawan dari sunnah, yaitu suatu perbuatan jika dikerjakan tidak berdosa sedang jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Makruh dibedakan menjadi:
1). Makruh Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa.
2). Makruh Tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukukmnya tidak pasti.
3). Tarkul Aula ialah meniggalkan perbuatan-perbuatan yang amat diajurkan.[5]
e.       Haram
Sebagai lawan dari wajib, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan berdosa sedang jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Haram dibagi menjadi dua yaitu:
1). Haram Li Dzatihi yaitu perbuatan yang haram dengan sendirinya bukan karena hal-hal lain yang hukumnya haram. Contoh: memakan bangkai selain ikan dan belalang, berzina, mencuri, dll.
2). Haram Li Ghairihi yaitu perbuatan yang hukumnya haram karena berbarengan dengan perbuatan lain atau tercampuri dengan sesuatu yang madlorat bagi manusia.[6]contoh: puasa di hari raya Ied, shalat dengan baju hasil curian, dll.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa tidaka ada bedanya antara haram lidzatih dan ghoiru lidzatih, karena dari segi akibatnya sama-sama haram.[7]
Dalam penyebutan istilah yang terdapat dalam bab ini terdapat perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh, seperti untuk sifatnya perintah ada tiga istilah, yaitu ijab, wujub. Wajib, dan lainnya, ini disebabkan perbedaan sisi pandang pada persoalan tersebut. Apabila khithab (ayat) atau tuntutan yang terdapat pada alqur’an, dilihat dari sisi Allah SWT sebagai penuntut, maka tuntutan sholat dan zakat itu disebut ijab. Apabila ayat tersebut dilihat dari sisi mukallaf yang dituntut untuk melaksanakannya, maka tuntutan shoalat dan zakat itu disebut wujub. Sedangkan istilah wajib merupakan sifat dari perbuatan mukallaf yang dituntut Allah SWT, namun istilah-istilah yang terdapat dalam hukum taklifie ini semua merupakan tuntutan syar’i.
B.     Hukum Wad’ie
1.      Pengertian hukum wad’ie
Hukum wadh’i adalah hukum yang menetapkan dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah (al-mani’). Hukum ini dinamakan hukum wadh’ie karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’ie adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahih), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ada ikhtilaf atau perbedaan di kalangan para ulama tentang al-shihhah, al-buthlan atau al-fasid, al-‘azimah, dan al-rukhshah. Sebagian ulama menganggap hukum-hukum tersebut tidak termasuk dalam lingkup hukum wadh’i. Akan tetapi sebaliknya, sebagian ulama lain menganggap bahwa hukum-hukum tersebut termasuk bagian dari hukum wadh’ie.
Adapun alasan mengapa rukhshah dan ‘azimah bukan termasuk dalam hukum wadh’ie akan tetapi masuk dalam hukum taklifiee adalah karena kedua hukum tersebut mengandung kehendak atau permintaan (iqtidha`) dalam hukum ‘azimah dan kebebasan memilih (takhyir) dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa ‘azimah dan rukhshah merupakan bagian dari hukum wadh’ie dan bukan termasuk dalam hukum taklifiee mengatakan bahwa rukhshah pada hakikatnya adalah sifat yang dijadikan Syari’ sebagai sebab peringanan suatu hukum syariat, sedangkan ‘azimah adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang menjadi sebab berlakunya hukum asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain sebagainya.
Sedangkan alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlân atau al-fasid tidak termasuk dalam hukum wadh’ie akan tetapi bagian dari hukum taklifiee, yaitu karena pada hakikatnya al-shihhah adalah pembolehan dari Syari’ untuk memanfaatkan sesuatu, seperti pembolehan memanfaatkan mabi’ (barang yang dijual) oleh pihak pembeli.
Sebaliknya al-buthlan adalah keharaman memanfaatkan sesuatu, seperti larangan memanfaatkan mabi’ jika akad jual beli batal atau tidak sah.[8]
2.      Pembagian hukum wad’ie
a.       Sebab atau al-sabab
Secara etimologi (al-sabab) mempunyai arti al-hablu (tali) dan sesuatu yang menghantarkan kepada maksud atau tujuan. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
Artinya: Maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit. (QS. Al-Hajj: 15)
Artinya: Dan kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka iapun menempuh suatu jalan. (QS. Al-Kahfi: 84)
Adapun secara terminologi al-sabab adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syâri’ untuk mengetahui hukum syariat tertentu, artinya hukum syariat tersebut akan muncul jika al-sabab tersebut ada, sebaliknya hukum syariat akan hilang dengan tidak adanya al-sabab tersebut. Seperti firman Allah Swt. dalam surat al-Isra`:
Artinya: Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (QS. Al-Isra`: 78)
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur. Allah Swt. juga berfirman dalam surat al-Baqarah:  
Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa. (QS. Al-Baqarah: 185)
Terkandung dalam ayat tersebut bahwa melihat atau menyaksikan bulan ramadhan menjadi al-sabab kewajiban untuk berpuasa.[9]
Pembagian sebab atau alsabab:
1). Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a).  Al-Sabab yang menyebabkan adanya hukum taklîfîe. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syâri’ sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah Swt. berfirman:
Artinya: Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (QS. Al-Isra`: 78)
b). Al-Sabab yang menjadi sebab penetapan hak milik dan kehalalan suatu barang, atau sebaliknya menghilangkan keduanya. Seperti akad jual beli, nikah, thalaq, dan lain-lain.
2). Dilihat dari segi ada dan tidaknya kemampuan seorang mukallaf dalam melakukannya, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a). Sesuatu yang ada dalam batas kamampuan mukallaf untuk melakukannya. Seperti berpergian (safar) yang menjadi al-sabab diperbolehkannya berbuka puasa, pembunuhan yang disengaja yang menjadi al-sabab adanya kewajiban qishâsh, dan lain-lain.
b). Sesuatu yang berada di luar batas kemampuan mukallaf. Seperti terbenamnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat maghrib.[10]
b.      Syarat atau al-syarat
Secara etimologi al-syarthu dapat berarti al-‘alamah al-lazimah (tanda yang lazim), Atau ilzamu al-syai` wa iltizamuhu (melazimkan sesuatu dan mewajibkannya). Bentuk jamaknya adalah al-syuruth. Sedangkan al-syarathu dengan memberi fathah pada huruf ra` berarti tanda (al-‘alamah).
Adapun secara terminologi al-syarthu oleh para ulama ushûl diartikan sebagai sesuatu yang kemunculan suatu hukum syariat bergantung padanya, yang ia berada di luar hakikat sesuatu tersebut. Dan adanya al-syarthu tidak mengharuskan adanya hukum syariat, akan tetapi ketidakberadaannya mengharuskan hilangnya hukum syariat tersebut. Dalam definisi lain disebutkan bahwa al-syarthu adalah sesuatu yang sah dan tidaknya suatu hukum syariat tergantung padanya, dan sesuatu tersebut di luar dari pada hakikat. Sebagai contoh wudhu dalam salat. Keberadaan wudhu tidak mengharuskan adanya salat, akan tetapi ketidakberadaannya dapat menghilangkan sahnya salat, dan wudhu sendiri bukan bagian dari salat.
1). Dilihat dari segi hubungannya dengan al-sabab dan al-musabbab, al-syarthu dibagi menjadi dua macam:
a). Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-sabab, artinya al-syarthu menguatkan akan makna sebab akibat (al-sababiyyah) yang terdapat dalam hukum tersebut. Sebagai contoh, penjagaan harta benda adalah syarat untuk melaksanakan hadd dalam pencurian.
b). Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-musabbab, artinya menguatkan hakikat al-musabbab atau rukunnya. Sebagai contoh, menghadap kiblat menjadi syarat sahnya salat.
2).  Dilihat dari segi sumber yang menetapkan, al-syarthu dibagi menjadi dua macam:
a). Al-Syarthu al-syar’ie, yaitu syarat yang telah ditetapkan oleh Syari’. Seperti syarat-syarat yang terdapat dalam ibadah, muamalat, jinayah, dan lain-lain.
b). Al-Syarthu al-ja’lie, yaitu syarat yang dibuat dan ditetapkan oleh seorang mukallaf. Seperti syarat terjadinya thalâq yang ditetapkan seorang suami terhadap istrinya. Seorang mukallaf tidak bisa seenaknya dalam membuat dan menetapkan sebuah al-syarthu al-ja’lie, karena telah ada batasan-batasan syariat yang telah dijelaskan. Sebagai contoh, seorang mukallaf tidak diperbolehkan menetapkan syarat yang dapat menghilangkan hakikat hukum syariat, karena pada esensinya syarat berperan sebagai pelengkap al-sabab yang telah memunculkan hukum syariat tersebut.[11]
c.       Mani’atau al-mani’(penghalang)
Definisi al-mani’ adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syari’ sebagai sebab hilangnya suatu hukum syariat atau rusaknya suatu al-sabab.
Al-Mani’ terbagi menjadi dua macam:
1). Mani’ al-hukmi, yaitu al-mâni’ yang dapat menghilangkan suatu hukum syariat. Seperti tidak berlakunya qishâsh bagi seorang ayah yang telah membunuh anaknya.
2). Mani’ al-sabab, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan al-sabab yang telah memunculkan suatu hukum syariat. Seperti mengurangi nisab dalam zakat yang menjadi al-mani’ dari kewajiban zakat.
d.      Al-Shihhah dan al-Buthlan atau Bathil
Definisi al-Shihhah dan al-Buthlan atau Bathil
Secara etimologi al-shihhah berarti sehat, antonim dari al-saqam yang berarti sakit. Adapun secara terminologi al-shihhah adalah sesuatu hukum yang sesuai dengan tuntunan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan shalat dluhur setelah tergelincirnya matahari (sebab) dan telah bewudluu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dll). Dalm contoh ini pekerjaan yang dilaksanakannya hukum. Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekalipun meni’nya tidak ada.
Sedangkan al-fasid dan al-buthlan atau bathil menurut jumhur ulama adalah sinonim, yaitu mempunyai makna yang sama. Oleh karena itu setiap ibadah, akad muamalat, dan lain sebagainya yang sebagian syarat dan rukunnya tidak terpenuhi disebut al-fasid atau al-buthlan. Sebagai contoh, akad jual beli yang dilakukan oleh orang gila, salat tanpa wudhu, dan lain-lain.[12]
e.       Al-‘Azimah dan al-Rukhshah
1.      ‘Azimah
Secara etimologi ‘azimah berarti al-iradah al-muakkidah atau al-qashdu al-muakkid, yaitu keinginan yang kuat. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur`an:

Artinya: maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. (QS. Thaha: 115)
Adapun secara terminologi ‘azimah berarti hukum syariat bagi sorang mukallaf yang berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Seperti kewajiban salat, zakat, puasa, dan lain-lain.
2.      Rukhshah
Secara etimologi rukhshah berarti al-suhûlah dan al-yusru, atau al-tashil dan al-taisir yang berarti memudahkan atau meringankan. Adapun secara terminologi rukhshah adalah hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Syari’ sebagai peringanan beban bagi seorang mukallaf dalam kondisi tertentu, atau hukum syariat yang ditetapkan karena adanya halangan atau masyaqqah dalam keadaan tertentu.[13]
Pembagian rukhshah:
a). Diperbolehka sesuatu yang haram pada waktu darurat atau terpaksa. Seperti makan bangkai atau makanan yang diharamkan syariat ketika dalam keadaan sangat lapar, tidak ada makanan lain, dan takut akan kematian.
b). Diperbolehkan meninggalkan kewajiban. Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir atau seorang yang sedang sakit di bulan ramadhan dikarenakan adanya masyaqqah.
c). Diperbolehkan suatu akad muamalat yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti akad jual beli pemesanan. Pada dasarnya akad jual beli pemesanan tidak diperbolehkan, karena barang yang dibeli tidak ada ketika akad berlangsung. Syâri’ telah membolehkannya karena adanya kebutuhan manusia dan telah menjadi hukum kebiasaan yang telah berlaku.[14]

C.    Mahkum Fih atau Mahkum Bih (objek hukum)
Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’. Dan ada pendapat lain, Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.
Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.[15]
Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum: Contoh:
1.      Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43
  Artinya:”Dirikanlah shalat”
Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.
2.      Firman Alloh dalam surat al an’am:151
   Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3.      Firman Alloh dalam surat Al-maidah: 6.
Artinya: Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku-siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat. Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.
Syarat-syarat mahkum fih
a.       Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
b.      Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
c.       Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:
1) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
2) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3) Tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
4) Tercapainya syarat taklif tersebut.[16]
Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain sebagaimana berikut:
a.       Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf.
b.      Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
c.       Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa.
d.      Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa[17].
Macam-macam mahkum fih:
Dilihat dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi empat macam:
1.    Semata mata hak Alloh,yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini.hak ini semata mata hak Alloh.dalam hal ini ada delapan macam:
a).   ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b). ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti:zakat fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah
c). Bantuan atau santunan yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan dari bumi
d). Biaya atau santunan yang mengandung makna hukuman,seperti: khoroj (pajak bumi) yang di anggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e). hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang berbuat zina
f). hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris,karena membunuh pemilik harta tersebut.
g). hukuman yang mengandung makna ibadah seperti:kafarat orang yang melakukan senggama disiang hari pada bulan ramadhan
h). hak hak yang harus di bayarkan,seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta tependam dan harta rampasan.
2.    Hak hamba yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang yang di rusak.
3.    Kompromi antara hak Alloh dengan hak hamba,tetapi  hak alloh didalamnya lebih dominan,seperti hukuman untuk tindak pidana.
4.    Kompromi antara hak Alloh dan hak hamba,tetapi hak hamba lebih dominan,seperti masalah qishos.[18]
f.       Al masyaqqoh
Perlu diketahui bahwa salah satu syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. untuk itu akan kami jelaskan yang dimaksud adalah masyaqqoh (halangan)  serta pembagiannya
Masyaqqoh itu ada dua macam yaitu:
1.      Masyaqqoh mu’tadah
Yaitu kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif,karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan.contohnya:Diwajibkannya adanya sholat ini buakan bermaksud agar badan capek atau bagaimana,akan tetapi untuk melatih dirinya diantaranya bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar
2.      Masyaqqoh goiru mu’tadah
Yaitu suatu kesulitanataukesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila di paksakan.Alloh tidak tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan.seperti puasa yang terus menerus sehingga mewajibkan selalu bangun malam untuk sahur.
Artinya:Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu(al baqoroh 185)[19]
D.    Mahkum Alaih(subjek hukum)
Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’. Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah, yang disebut mukallaf. Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu. Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadikannya tempat berlakunya hukum Allah.[20]
Syarat-syarat Mahkum Alaih
1.      Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
2.      Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157-158).[21]
KESIMPULAN
Setelah apa yang telah kami bahas diatas, menghasilkan kesimpulan yang menghimpun secara siingkat dari permasalahan diatas, dintaranya hukum taklifi merupakan suatu redaksi hukumyang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sasuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkannya. Bentuk-bentuk dari redaksi hukum ini adalah yang pertama, wajib atau ijab, sunnah atau nadb, ibahah atau boleh, makruh atau karohah dan tahrim atau haram. Yang kedua, meliputi iftiradh, ijab, nadb, ibahah, karohah tanzhiliyah, karohan tahrimiyah, dan tahrim atau haram. Dalam pembahasan ini terdapat perbedaan diantara para ulama usul, dikarenakan perbedaan pemahaman diantara mereka pada unsur-unsur hukum-hukum ini yang berupa dalil.
Sedangkan hukum wad’ie mempunyai kesimpulan, suatu redaksi hukum yang menuntu untuk menjadikan sesuatu sebagia sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain, atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahih), rusak atau batal (fasid), ‘azimah (keinginan yang kuat) atau rukhshah (kemudahan).
Obejek hukum atau mahkum fih, mempunyai pengeritan yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal seperti yang di contohkan dalam surat Al-Maidah ayat 6, Al-An’am ayat 151 dan surat Al-Baqarah ayat 43. Dalam mahkum fih ini ada syarat yang mendukung keshahehannya objek, yang berkesimpulan orang yang sudah mengerti dan sehat jasmani dan rohani, karena menyangkut hak Allah dan hambanya.
Subjek hukum atau mahkum alaih mempunyai pengertian yaitu individu atau orang mukallaf yang perbuatannya menjadikannya tempat berlakunya hukum Allah. Dengan syarat Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain, dan orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya, dasar dari hukum ini menurut kebanyakan ulam adalah terdapat pada akal dan pemahamannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abddul Ghofur, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta.
Al-Zahrah, Muhammad Abu, 2006, Ushul al-Fiqhi,Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi.
Firdaus. 2004. Ushul fiqh, Zikrul hakim: Jakarta timur.
Hakim,  Abdul Hamid, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra.
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul fiqh. Logos wacana ilmu Persada: Jakarta.
Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press: Jember.
Syafi’I,Rahmat, 1999, Ilmu Usul Fiqh, Pustaka Setya: Bandung.
Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya




[1] Rahmat Syafi’I, 1999, Ilmu Usul Fiqh, Pustaka Setya, hal, 296.
[2] Ibid: 305.
[3] Abddul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, Hal. 28.
[4] Ibid: 28.
[5] Ibid: 30.
[6] Ibid: 29.
[7] Ibid: 308.
[8] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra, hal,198.
[9] Ibid:200.
[10] Ibid: 201-202.
[11] Muhammad Abu al-Zahrah, 2006, Ushul al-Fiqhi,Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi,hal.387.
[12] Ibid:388.
[13] Miftachr.blog.uns.ac.id
[14] Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press. Jember, hal:119.
[15] Ibid: 209.
[16] Ibid:320.
[17] Ibid:121-123
[18] Ibid:212.
[19]Ibid: 390.
[21] Ibid:392.