Senin, 11 April 2011

Ilmu Pendidikan Islam


PEMBAHASAN

A.    Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Paedagogis
Socrates mengatakan bahwa belajar yang sebenarnya ialah belajar tentang manusia. kalimat ini sangat dasar. Manusia mengatur dirinya, ia membuat peraturan untuk manusia mengatur alam dan ia membuat aturan untuk itu. manusia mengurus dirinya dan alam berdasarkan manusia itu sendiri. Manusia adalah sentral segalanya. Jadi, wajar jika manusia semestinya mengenali siapa manusia itu sebenarnya. Dalam kaitanya dengan paedagogis, disini akan diterangkan tentang sifat yang satu ini. Makhluk peadagogis adalah makhluk yang mempunyai sifat pendidikan.Hal ini mencakup dua aspek yaitu pendidik dan peserta didik. Kata peadagogis berasal dari kata Yunani yaitu pae artinya anak, dan gogik adalah didik. Dalam kamus Ilmiah, kata paedagogik berarti bersifat mendidik, memiliki nilai pendidikan. Jadi dapat di ambil jalan tengah, bahwa peadagogis adalah membahas masalah pendidik tapi tidak terlepas dari pembahasan peserta didik.[1]
Manusia mengalami proses pendidikan yang terus berlangsung sampai mendekati waktu ajalnya(sakaratul maut). Proses pendidikan adalah life long education yang dilihat dari segi kehidupan masyarakat dapat dikatakan sebagai poroses yang tanpa akhir. Kalau kita amati seksama keadaan bayi pada saat dilahirkan, maka kita akan saksikan, bahwa mereka dalam keadaan yang sangat lemah, dan tak berdaya. Mereka sangat memerlukan pertolonngan dan bantuan dalam segala hal. Kalau anak tersebut tidak diberi minum atau makan oleh ibunya maka ia akan mati. Demikian kalau dia tidak diberi pendidikan, baik pendidikan jasmani ataupun rohani yang berupa pendidikan intelek, sosial, agama, dan lain-lain, maka anak tersebut tidak akan dapat berbuat sesuatu. Pernyataan ini mengandung pengertian, bahwa bilamana anak tidak mendapat pendidikan, maka mereka tidak akan menjadi manusia sebenarnya, dalam arti tidak akan sempurna hidupnya dan tidak akan dapat memenuhi fungsinya sebagai manusia yang berguna dalam hidup dan kehidupannya.
Bila dilihat dari segi kemampuan secara pedagogis, manusia dipandang sebagai “homo edukandum” makhluk yang harus dididik atau biasa disebut “animal educabil” maka jelaslah bahwa manusia itu sendiri tidak dapat terlepas dari potensi psikologis yang dimilikinya secara individual berbeda dalam abilitas dan kapabilitasnya, dari kemampuan individual manusia lainnya, denga berbeda-beda kemampuan uintuk dididik itulah, fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah melakukan seleksi melalui proses kependidikan atas diri pribadi manusia.
Proses seleksi tersebut menuju kepada dua arah:
a.       Menseleksi bakat dan kemampuan apa sdajakah yang dimiliki manusia untuk selanjutnya dikembangkan melalui proses pendidikan.
b.      Menseleksi sampai dimanakah kemampuan manusia dapat dikembangkan guna melaksanakan tuigas hidupnya dalam hidup bermasyarakat.[2]
Dengan demikian, maka dapat diketahui dan diramalkan titik maksimal perkembangan yang akan menjadikan anak respec dalam masyarakat yang senantiasa berkembang. Dengan kata lain, proses kependidikan bagi manusia adalah usaha yang sitematis dan berencana untuk menseleksi kemampuan belajar manusia agar dapat berkembang sampai pada titik optimal kemempuannya yaitu kemempuan mengembangkan potensi kapabilitasnya semaksimal mungkin, melalui proses belajar- mengajar.
Dari segi social psikologis, manusia dalam proses pendidikan juga dapat dipandang sebagai makhluk yang sedang bertumbuh dan berkembang dalam proses komunikasi antara individualitasnya dengan orang lain atau lingkungan sekitarnya dan proses ini dapat membawanya kearah pengembangan sosialitas dan kemampuan moralitasnya (rasa kesusilaanya).
Dalam proses tersebut terjadilah suatu pertumbuhan atau perkembangan secara dialektis atau secara interaksional antara individualiutas dan sosialitas serta lingkunga sekitarnya, sehingga terbentuklah suatu proses biologis, psikilogis dan sosiologis sekaligus dalam waktu bersamaan yang dapat dirumuskan sebagai suatu rangkaian factor-faktor sebagai berikut:
Faktor kemampuan dasar x factor lingkungan x waktu adalah suatu tingkat perkembangan manusia. Dalam hubunganya dengan proses kependidikan yang berlaku bagi manusia itu, menurut ajaran islam dipandang sebagai suatu perkembangan alamiah manusia yaitu suatu proses yang harus terjadi terhadap diri manusia oleh karena hal tersebut merupakan pola perkembangan hidupnya yang telah ditentukan oleh Allah, atau di katakan sebagai “sunnatullah”. Apa yang terkandung dalam salah satu hadist nabi adalah menunjukkan bahwa secara pedagogis manusia berkembang melalui proses pendidikan. Meskipun tidak terperinci, sabda nabi tersebut dapat dijadikan landasan bahwa dalam pembiunaan jiwa, manusia diperlukan prioses kependidikan secara bertahap dari mulai sejak mempengaruhi jiwanya secara psikologis sampai dengan mengamalkan perilaku yang diajarkan. Untuk mencapai titik optimal perkembangan dan pertumbuhan, manusia harus menempuh proses kependidikan yang berlangsung secara progresif di atas kemampuan dasar masing-masing yang diperlancar dan dipengaruhi oleh factor lingkungan, baik yang disengaja seperti factor pendidikan maupun yang tidsk disengaja seperti alam sekitar atau pergaulan sosialnya.
B.     Dasar Dan Landasan Pendidikan Islam
Dasar Pendidikan Agama Islam secara garis besar ada tiga yaitu: Al-qur`an, As-sunnah, dan perundangan yang berlaku di Negara kita.
a.       Al-qur`an
Secara lengkap Al-qur`an didefenisikan sebagai firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad Ibn Abdillah, melalui ruh al-Amin dengan lafal-lafalnya yang berbahasa arab dan maknanya yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rasul bahwa ia adalah Rasulullah, dan sebagai undang-undang bagi manusia dan memberi petunjuk kepada mereka, serta menjadi sarana pendekatan dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Dan Ia terhimpun dalam sebuah mushaf, diawali dengan surat Al- fatihah dan diakhiri dengan surat al-naas, disampikan kepada kita secara mutawatir baik secara lisan maupun tulisan dari generasi kegenerasi, dan ia terpelihara dari berbagai perubahan atau pergantian, sesuai dengan firman Allah s.w
Islam adalah agama yang membawa misi umatnya menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Al-Qur`an merupakan landasan paling dasar yang dijadikan acuan dasar hukum tentang Pendidikan Agama Islam. Sesuai dengan ayat quran surat al alaq yang beraarti: “ Bacalah dengan  (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.  Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.  Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya.” .
Dari ayat-ayat tersebut diatas dapatlah di ambil kesimpulan bahwa seolah-olah Tuhan berkata hendaklah manusia meyakini akan adanya Tuhan Pencipta manusia  (dari segumpal  darah),  selanjutnya untuk memperkokoh keyakinan dan memeliharanya agar tidak luntur hendaklah melaksanakan pendidikan dan pengajaran.
b.      As-sunnah.
As-sunnah didefenisikan sebagai sesuatu yang didapatkan dari Nabi Muhammad s.a.w. yang terdiri dari ucapan, perbuatan,persetujuan, sifat fisik atau budi, atau biografi, baik pada masa sebelum kenabian ataupun sesudahnya. Suatu hal yang sudah kita ketahui bersama bahwa Rasulullah Muhammad s.a.w. diutus ke bumi ini, salah satunya adalah untuk memperbaiki moral atau akhlak umat manusia, sebagaimana sabdanya :                        
 “Sesungguhnya aku diutus tiada lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Makna hadist ini sudah jelas, tujuannya sudah dapat dimengerti oleh umat muslim. Namun yang terpenting dibalik hadist ini adalah, memformulasikan sistem, metode, atau cara yang harus ditempuh oleh para penanggung jawab pendidikan dalam meneruskan misi risalah, yaitu menyempurnakan keutamaan akhlak. Dan banyak lagi hadist yang memiliki konotasi pedagogis, baik mengenai metode, materi, orientasi, dan lain sebagainya. Jadi jelas, bahwa perkataan, perbuatan, ketepatan, dan sifat Rasulullah s.a.w. sarat dengan pendidikan.
c.       Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
UUD 1945, Pasal 29. Ayat 1 berbunyi : “Negara berdasaarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ayat 2 berbunyi  : “Negara menjaminin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadaah menurut agamanya dan kepercayan itu….” Pasal 29 uud 1945 ini di berikan jaminan kepada warga Negara Republik Indonesia untuk memeluk agama dan  beribadah sesuai agama yang di peluknya bahkan mengadakan kegiatan yang dapat menjunjung bagi plaksanaan ibadat.  Dengan demikian  pendidikan Islam yang searah dengan bentuk ibadat yang di yakininya diizinkan dan dijamin oleh Negar.[3]
C.     Tugas, Fungsi dan Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan islam dalam lembaga-lembaga pendidikan pada masa perkembangannya tidak selalu tetap. Seperti tujuan pendidikan pada abad pertama Hijriyah berbeda dengan tujuan pendidikan pada abad keempat Hijriyah. Hal ini dikarenakan perbedaan aliran paham mereka. Dari berbagai macam tujuan pendidikan yang ada, terdapat dua macam tujuan yang prinsipil.
Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah. Yang dimaksud menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup menusia itu menurut Allah ialah beribadah kepada Allah. Seperti dalam surat a Dzariyat ayat 56 :
“ Dan Aku menciptakan Jin dan Manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaikan shalat, shaum pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat, ibadah Haji, serta mengucapkan syahadat. Tetapi sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (atau disandarkan) kepada Allah. Aspek ibadah merupakan kewajiban orang islam untuk mempelajarinya agar ia dapat mengamalkannya dengan cara yang benar.
Ibadah ialah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, pemikiran yang disangkutkan dengan Allah.
Menurut al Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah :
1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat, memperkaya pengalaman masyarakat.
3. Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai kegiatanmasyarakat.
Menurut al abrasyi, merinci tujuan akhir pendidikan islam menjadi
1. Pembinaan akhlak.
2. menyiapkan anak didik untuk hidup dudunia dan akhirat.
3. Penguasaan ilmu.
4. Keterampilan bekerja dalam masyrakat.
Menurut Asma hasan Fahmi, tujuan akhir pendidikan islam dapat diperincimenjadi :
1. Tujuan keagamaan.
2. Tujuan pengembangan akal dan akhlak.
3. Tujuan pengajaran kebudayaan.
4. Tujuan pembicaraan kepribadian.[4]

D.    Peserta didik dalam persepektif Islam
Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta  sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran.
Dengan diakuinya keberadaan seorang peserta didik dalam konteks kehadiran dan keindividuannya, maka tugas dari seorang pendidik adalah memberikan bantuan, arahan dan bimbingan kepada peserta didik menuju kesempurnaan atau kedewasaannya sesuai dengan kedewasaannya. Dalam konteks ini seorang pendidik harus mengetahuai ciri-ciri dari peserta didik tersebut.
a. ciri – ciri peserta didik :
·         kelemahan dan ketak berdayaannya
·         berkemauan keras untuk berkembang
·         ingin menjadi diri sendiri (memperoleh kemampuan).
b. kriteria peserta didik :
Syamsul nizar mendeskripsikan  enam kriteria peserta didik, yaitu :
·         peserta didik bukanlah miniatur orang dewasa tetapi memiliki dunianya sendiri
·         peserta didik memiliki periodasi perkembangan dan pertumbuhan
·         peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik disebabkan oleh faktor bawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
·         peserta didik merupakan dua unsur utama jasmani dan rohani, unsur jasmani memiliki daya fisik, dan unsur rohani memiliki daya akal hati nurani dan nafsu, peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi atau fitrah yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
E.     Pendidik Dalam Perspektif Islam
Pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung-jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung-jawab adalah orangtua (ayah dan ibu) anak didik. Tanggung jawab itu disebabkan oleh dua hal yaitu pertama, karena kodrat yaitu karena orangtua ditakdirkan menjadi orangtua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggung-jawab mendidik anaknya. Kedua, karena kepentingan kedua orangtua yaitu orangtua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya. Selain itu sukses tidaknya anak mereka juga sangat tergantung pada pola pengasuhan dan pendidikan yang diberikan di lingkungan rumah tangga. Inilah yang tercermin dalam QS. Al-Tahrim : 6 yang berbunyi:
Artinya:“Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”
Kemudian pendidik berikutnya dalam pandangan Islam adalah guru/dosen. Sederhananya guru bisa disebut sebagai pengajar dan pendidik sekaligus. Dalam pendidikan formal tingkat dasar dan menengah disebut pendidik, sedangkan pada perguruan tinggi disebut dengan dosen.
Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam setidaknya ada empat macam. Pertama, Allah SWT sebagai pendidik bagi hamba-hamba dan sekalian makhluk-Nya. Kedua, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya telah menerima wahyu dari Allah kemudian bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya kepada seluruh manusia. Ketiga, orang tua sebagai pendidik dalam lingkungan keluarga bagi anak-anaknya. Keempat, guru sebagai pendidik di lingkungan pendidikan formal, seperti di sekolah atau madrasah. Namun pendidik yang lebih banyak dibicarakan dalam pembahasan ini adalah pendidik dalam bentuk yang keempat.
Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru atau pendidik. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian? Karena pendidik selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam sangat menghargai pengetahuan.
Sebenarnya tingginya kedudukan pendidik dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, yang belajar adalah calon pendidik, dan yang mengajar adalah pendidik. Maka, tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan pendidik. Tak terbayangkan terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang yang belajar dan mengajar, tidak terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya pendidik. Karena Islam adalah agama, maka pandangan tentang pendidik, kedudukan pendidik, tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan.[5]
F.      Kurikulum dan materi Pendidikan islam
Dalam sistem pendidikan Islam, tentu kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan disusun agar tidak menyimpang dari landasan tersebut. Penyusunan kurikulum diatur sedemikian rupa, sehingga benar-benar bisa membentuk kepribadian Islam yang sempurna pada peserta didik. Mereka bukan hanya menguasai sainstek, cerdas secara intelektual saja, tetapi juga memahami hakekat diadakannya proses pendidikan itu sendiri.
Secara struktural, kurikulum pendidikan Islam formal dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan utama yang sekaligus menjadi karakteristik, yaitu (1) pembentukan kepribadian islami), (2)Tsaqafah Islam, dan (3) Ilmu kehidupan (IPTEK, keahlian, dan ketrampilan). Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian islam yang secara terus menerus pemberiannya untuk semua tingkat, muatan tsaqafah islam dan Ilmu terapan/ilmu kehidupan diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing. Pada tingkat dasar, penyusunan struktur kurikulum sedapat mungkin bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya. Yang termasuk dalam materi dasar ini antara lain:
1. Pengenalan Al Quran dari segi bacaan dan hafalannya
2. Prinsip-prinsip agama,
3. membaca
4. menulis dan menghitung
5. Prinsip-prinsip bahasa Arab,
6. menulis halus,
7. sirah rasul dan khulafa-u Rasyidin
8. latihan berenang dan menunggang kuda
Beberapa sandaran bagi pemberian materi pelajaran tersebut adalah:
“Yang paling baik di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al Quran dan mengajarkannya” (HR. Bukhari)
“Sesungguhnya shalat mencegah dari keburukan dan kemungkaran, dan sesungguhnya menyebut Allah itu adalah paling besar” (QS. Al Ankabut:45)
“Sebaik-baiknya kalian adalah yang terbaik akhlaq budi pekertinya” (HR. Bukhari-Muslim)
“Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya dan sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap isterinya” (HR. Turmudzi)
Khalifah Umar bin Khattab dalam wasiat yang dikirimkan kepada gubernur-gubernurnya menuliskan: “Sesudah itu, ajarkanlah kepada anak-anakmu berenang dan menunggang kuda, dan ceritakan kepada mereka adab sopan santun dan syair-syair yang baik”
Khalifah Hisyam bin Abdul malik mewasiatkan kepada Sulaiman Al Kalby, guru anaknya: “Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku, saya percayakan padamu mengajarnya. Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tunaikanlah amanah. Dan yang pertama-tama saya wasiatkan kepadamu adalah agar engkau mengajarkan kepadanya Al Quran, kemudian hafalkan kepadanya Al Quran,…”
Kurikulum yang ada haruslah memusat, artinya tidak ada perbedaan antara satu daerah dengan yang lainnya. Meskipun secara potensi lokal masing-masing daerah memiliki perbedaan, tapi kualitas sumber daya manusianya haruslah sama. Ini tidak berarti mengebiri kreatifitas daerah. Karena berbicara proses, kreatifitas guru dan sekolah untuk memberikan kemampuan terbaiknya bagi peserta didik masih tetap terbuka lebar.[6]
G.    Hakikat pendidikan islam
Hakikatnya pendidikan berlangsung sepanjang hayat. Dalam konteks ini, pendidikan dapat berlangsung didalam berbagai lingkungan, yaitu didalam lingkungan pendidikan informal (keluarga), didalam lingkungan formal (sekolah) dan didalam lingkungan pendidikan nonformal (masyarakat). Berkenaan dengan ketiga lingkungan pendidikan ini Ki Hadjar Dewantara mengemukakan konsep yang dikenal sebagai Tri Pusat Pendidikan. Adapun dalam pasal 13 UU RI no 20 tahun 2003 tentang “Sistem Pendidikan Nasional” dinyatakan bahwa “jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal”. Karena itu, dalam kontemks sistem pendidikan nasional bahwa keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan komponen sistem pendidikan.
Lembaga Pendidikan Keluarga
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah sebagi pembantu kelanjutan pendidikan dalam keluarga, sebab pendidikan yang pertama dan utama diperoleh anak adalah dalam keluarganya.
Peranan orang tua bagi pendidikan anak menurut Idris dan Jamal (1992), adalah memberikan dasar pendidikan , sikap dan keterampilan dasar seperti, pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan-peraturan, dan menanamkan kebiasaan-kebiasaan.
Lembaga Pendidikan Sekolah
Sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Karena kamajuan zaman, maka keluarga tidak mungkin lagi memenuhi seluruh kebutuhan dan aspirasi anak terhadap iptek. Semakin maju suatu masyarakat, semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses pembangunan masyarakat itu.
Lembaga Pendidikan Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia yang berintegrasi secara terorganisasi, menempati daerah tertentu dan mengikuti suatu cara hidup atau budaya tertentu. Masyarakat dapat dibedakan dalam berbagai jenis. Jenis masyarakat antara lain masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Secara umum masyarakat memiliki kesamaan, namun secara khusus tiap masyarakat akan mempunyai perbedaan-perbedaan. Perbedaan ini mungkin berkenaan dengan hubungan sosialnya, karakteristik daerah tempat tinggalknya, nilai-nilai budayanya.
Masyarakat sebagai pusat paendidikan ketiga sesudah keluarga dan sekolah, mempunyai sifat dan fungsi yang berbeda dengan ruang lingkup dengan batasan yang tidak jelas dan keanekaragaman bentuk kehidupan sosial serta berjenis-jenis budayanya.
Masalah pendidikan di keluarga dan Sekolah tidak bisa lepas dari nilai-nilai sosial budaya yang dijunjung tinggi oleh semua lapisan masyarakat. Setiap masyarakat, dimanapun berada pasti punya karakteristik sendiri sebagai norma khas di bidang sosial budaya yang berbeda dengan masyarakat yang lain.[7]
H.    Pendidikan Perspektif Tokoh
1.      Al-ghozali
Menurut Alghazali, Ada dua alat pokok yang dapat digunakan untuk mencapai setiap sasaran pendidikan: Pertama, aspek pengetahuan yang harus dikuasai pelajar atau dengan kata lain kurikulum pelajaran yang harus dipelajarinya. Kedua, metode penyajian mata pelajaran atau materi kurikulum.
Sasaran pendidikan menurut al-Ghazali telah dilukiskan sejalan dengan pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, artinya sejalan dengan filsafatnya, yang menggabungkan antara potensi sukma dhulani dan sukma dzahiri. Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka al-Ghazali memberikan tempat yang terhormat baginya. Akal ia jadikan sebagai objek kajian khusus, sinergis terhadap hadits nabi : Addienu huwa al-Aql, laa diena liman laa aqla lahu (agama adalah akal, tiada beragama bagi mereka yang tidak menggunakan akalnya), sebagaimana ia lakukan terhadap tabiat dan kekuatan bawaan manusia.
Menurutnya, puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah SWT, "Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang sangat agung". (QS. 68 : 4). Dan sabda Rasul saw : Innama bu'itstu liutammima makarimal akhlak.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa akhlak berakar pada dua pengertian, khalq dan khuluq. Khalq merupakan bentuk basyariah, eksternal (materi manusia), yang dalam penciptaannya terpaksa. Sementara khuluq (akhlak), bagian internal manusia adalah aspek yang dapat diatur dalam penciptaannya. Layaknya khalq (bentuk eksternal) yang sempurna kalau semuanya baik misalnya wajah cantik kalau semua anggota wajahnya sempurna bentuk internal juga demikian.
Dan komponen pendukung sempurnanya insan ialah keseimbangan antara daya intelektual (kognitif), daya emosi, dan daya nafs, oleh daya penyeimbang. Al-Ghazali memberikan tamsil dengan menjelaskan orang yang menggunakan akalnya yang berlebih-lebihan tentu akan akal-akalan, sedang yang 'menganggurkannya' akan jahil. Jadi pendidikan dikatakan sukses membidik sasaran sekiranya mampu mencetak manusia yang berakhlakul karimah.

Pada tataran praktis, konsep "penyucian hati" dengan malamatiyah al-Ghazali mendapat tantangan tajam dari sufi modern, terutama setelah di-"selewengkan" (Lihat : Al-Ghazali, "Pilar-pilar Ruhani", h. 17-20).
Kurikulum pengajaran dan hierarki ilmu
Al-Ghazali sangat intens dalam membahas tentang ilmu. Menurutnya, ilmu dan amal merupakan satu mata rantai ibarat setali mata uang yang dengannya manusia dapat selamat ataupun binasa. Dengan ilmu dan amal pula diciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. "Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya agar kamu mengetahui sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu". (QS Ath-Thalaq : 12).
Al-Ghazali menyebut empat sistem klasifikasi yang berbeda:
1. Pembagian ilmu menjadi bagian teoretis dan praktis
2. Pembagian pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan yang dicapai (hushuli)
3. Pembagian ilmu-ilmu religius (sya'iyah) dan intelektual (aqlnyah)
4. Pembagian ilmu menjadi fardhu 'ain dan fardhu kifayah.
Pembagian yang terakhir didasarkan pada hadis Rasulullah saw., "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat". Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap mukallaf ada tiga jenis yakni ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang berkaitan dengan kalbu dan jalan-jalannya, ilmu ibadah lahir yang berkaitan dengan badan dan harta. Ilmu wajib ini yang kian terabaikan dan terlupakan oleh sebagian Muslimin.
Metode pengajaran
Filosof besar ini menandaskan perlunya memilih metode yang tepat dan sejalan dengan sasaran pendidikan. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi ilmu dalam beberapa himpunan, bagian-bagian, dan cabang-cabangnya. Berdasarkan hadis Nabi saw., "Sampaikan ilmu sesuai dengan kadar kemampuan akal", al-Ghazali menganjurkan agar filsafat atau ilmu lainnya diberikan sesuai dengan tabiatnya, sesuai dengan kemampuan dan kesiapan manusia. Tidak seperti "memberi daging kepada anak kecil".
Mengingat pendidikan sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid, al-Ghazali dalam tulisan-tulisannya banyak mengulas tentang hubungan yang mengikat antara keduanya. Menurutnya hubungan antara guru dan murid sangat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan selain akan memberikan rasa tenteram bagi murid terhadap gurunya. Pekerjaan mengajar dalam pandangan al-Ghazali adalah pekerjaan yang paling mulia sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Seperti dikemukakannya : "Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, dan bagian tubuh yang paling berharga adalah hatinya. Adapun guru adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyepurnakan serta menyucikan hati, hingga hati itu menjadi dekat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, mengajarkan ilmu pengetahuan dapat dilihat dari dua sudut pandang, pertama ia mengajarkan ilmu pengetahuan sebagai bentuk ibadah kepada Allah, dan kedua menunaikan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dikatakan khalifah Allah karena Allah telah membukakan hati seorang 'alim dengan ilmu yang dengan itu pula seorang 'alim menampilkan identitasnya. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi selain sebagai perantara antara hamba dengan makhluk-Nya. Dalam mendekatkan diri kepada Allah, menggiringnya kepada surga tempat tinggal abadi. Al-Ghazali menganjurkan agar seorang guru bertindak sebagai seorang ayah dari seorang muridnya. Bahkan dalam pandangannya hak guru atas muridnya lebih besar dibandingkan hak orang tua terhadap anaknya. Ayah adalah sebab dari lahirnya wujud yang fana, sedangkan guru merupakan sebab bagi lahirnya wujud yang abadi.
Karena guru menunjukkan jalan yang dapat mendekatkannya kepada Allah baik guru agama maupun guru umum. Kesucian hati seorang guru juga menjadi prioritas utama, karena seorang guru bagi murid ibarat bayangan kayu. Bayangan tidak mungkin lurus bila kayunya bengkok.
Komprehensivitas pendidikannya
Al-Ghazali lahir sebagai peletak dasar "perkawinan" multiaspek disiplin ilmu, seperti kalam, tasawuf, falsafah, dan fikih. Kehidupannya penuh dinamika yang mencolok dan dihiasi dengan krisis intelektual dan spiritual. Akan tetapi dalam perjalanan itu, beliau menggoreskan jejak langkah pengajaran sufistik yang menekankan aspek akhlakul karimah sebagai mainstream dari Ihya, karya monumentalnya. Bila kini ahli pendidikan menyebutnya sebagai kurikulum berbasis komptensi, al-Ghazali jauh sebelumnya telah meletakkan dasar pondasi yang kuat bahwa perpaduan yang komprehensif dari kekuatan intelektual, emosional, dan spritual, yang berpadu pada tasawuf, falsafah dan fikih, satu keniscayaan bagi pelaku dan peserta didik saat ini.[8]
2.      Ibnu maskawaih
Cita-cita pendidikan sebagaimana yang dimaksudkan Miskawaihi di-isyaratkanya dalam awal kalimat kitab Tahzibul Akhlak ialah terwujudnya pribadi susila, berwatak yang lahir daripadanya perilaku-perilaku luhur, atau berbudi pekerti mulia. Dan budi (jiwa atau watak), lahir pekerti (perilaku) yang mulia. Untuk mencapai cita-cita ini haruslah melalui pendidikan dan untuk melaksanakan pendidikan perlu mengetahui watak manusia atau budi pekerti manusia.
Ibnu Miskawaihi dalam maqalah kedua membahas tentang al-Khulq (watak) itu ialah suatu kondisi bagi jiwa yang mendorong untuk melahirkan tingkah laku tanpa pikir dan pertimbangan (tingkah laku spontan). Kondisi ini terbagi dua. Ada yang alamy dari asal mizaaj (temperament) seperti sifat pada seorang manusia yang mudah terpengaruh/bereaksi oleh suatu hal yang sederhana. Kedua ialah watak seorang yang diperoleh dari kebiasaan/latihan yang berulang-ulang, pada mulanya perilaku itu disertai kesengajaan atau pikiran kemudian berkelanjutan berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan atau watak. Karena itu kata Miskawaihi para ahli jaman dahulu berbeda pendapat. Sebagian mereka mengatakan bahwa watak itu adalah tertentu bagi kekuatan jiwa selain kekuatan jiwa natigah. Sebagian lain mengatakan ada juga aspek dari kekuatan jiwa natiqah pada watak itu. Perbedaan kedua adalah apakah watak itu alamy. Sebagian mengatakan watak itu alamy tak dapat dirubah. Sebagian lain mengatakan tak ada sesuatu pun pada watak itu yang alamy. Kami sendiri, kata Miskawaihi - tidaklah berpendapat watak itu tidak alamy. Kita diciptakan atas dasar menerima watak, namun kita berubah berkat pendidikan dan pengajaran cepat atau lambat. Pendapat terakhir inilah pilihan kami karena sesuai dengan kesaksian mata kita. Pendapat pertama (yang mengatakan watak itu alamy dan tak dapat dididik) menyampingkan kekuatan tamyiz (penalaran) serta akal dan menolak segala upaya serta membiarkan manusia tidak beradab, menelantarkan para remaja dan anak-anak tanpa pendidikan. Kemudian Miskawaihi mengemukakan pendapat golongan Ruwwaqiyyun (Stoicism), Jalinus (Galer, 131-201 SM) dan pendapat Aristoteles tentang watak manusia. Golongan Rawwaqiyyun berpendapat bahwa watak itu dasaranya baik, kemudian karena pengaruh pergaulan watak yang baik itu menjadi buruk Sedang Jalinus berpendapat bahwa sebagian watak manusia pada dasarnya (alami) jahat, sebagian lagi mengatakan watak itu dasarnya baik, diantara mereka ada yang mengatakan dasar watak itu tengah-tengah antara baik dan buruk. Miskawaihi mengutip pendapat Aristoteles yang dijadikannya pegangan. Menurut Aristoteles orang jahat/watak buruk dapat berubah dengan pendidikan namun tidak mutlak.
Jadi Pengajaran dan pendidikan yang berkelanjutan serta bimbingan yang baik yang diupayakan manusia tentulah akan memberi pengaruh yang berbeda-beda terhadap bermacam-macam orang. Ada diantara mereka yang menerima pendidikan dengan cepat sedang sebagian yang lain menerimanya dengan lambat untuk menuju keutamaandalam pembentukan karakter sebab Karakter dapat diubah dan dididik.[9]
3.      Ibnu khaldun
Dalam bidang pendidikan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pendidikan atau ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian dalam membangun masyarakat manusia. Hal ini dapat terlihat pada pandangannya mengenai tujuan pendidikan, yaitu:
1.      Memeberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu yang pada gilirannya kematangan individu ini bermanfaat bagi masyarakat.
2.      Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat yang membantu manusia agar dapat hidup dengan baik, dalam rangka terwujudnya masyarakat maju dan berbudaya.
3.      Memperoleh lapangan pekerjaan yang dapat digunakan untuk mencari penghidupan.  
Pernyataan-pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat memepertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.
Dalam kaitannya dengan peserta didik, Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya sebagaimana yang acapkali dibicarakan para filosof, baik itu filosof dari golongan muslim atau non-muslim. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam konteks inilah ia sering disebut sebagai salah seorang pendiri sosiolog dan antropolog.
Menurut Ibnu Khaldun pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa adanya perbedaan lapisan sosial timbul dari hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran. Berkenaan dengan ilmu pengetahuan ini Ibnu Khaldun membaginya kepada tiga macam: 1). Ilmu Lisan; 2). Ilmu Naqli; 3). Ilmu Aqli.
Disamping beberapqa hal diatas, ibnu Khaldun juga menyoroti masalah kurikulum. Menurutnya ada tiga kategori kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik. Pertama, kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman. Kurikulum ini mencakup ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah dan syair. Kedua,  kurikulum sekunder, yaitu mata kuliah yang menjadi pendukung untuk memahami Islam. Kurikulum ini meliputi ilmu-ilmu hikmah seperti: logika, fisika, metafisika, dan matematiuka. Ketiga, kurikulum primer yaityu mata kuliah yang menjadi inti ajaran Islam. Kurikulum ini meliputi semua bidang al ulum al naqliyah seperti: ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu qiraat dan sebagainya.[10]    
I.       Perspektif Tokoh Kontemporer
1.      Muhammad abduh
Muhamad Abduh malihat terdapat segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran seehingga ia mengkritik kedua corak lembaga ini. Oleh karena itu ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. semetara pola fikir yang kedua, Muhamad Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tampa nilai “religius” merupakan bahaya ynag mengancam sendi agama dan moral.
Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap kedua institusi itu sehingga dua pola pandidikan tersebut dan saling menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.
Salah satu proyek terbesar Muhamad Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan, dualisme pendidikan yang muncul dengan adanya institusi yang berbeda sehigga menjadi motivasi bagi Muhamad Abduh untuk berusaha keras dua pola pikir tersebut.
Langkah yang di tempuh Muhamad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah uapaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini di lakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usaha Muhamad Abduh tersebut maka didirikan suatu lembaga yakni “majlis pendidikan tinggi”.
untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pandidikan Muhamad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
1. Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhamad Abduh menetapkan tujuan, pendididkan islal yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Pendidikan akal ditujuka sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dalam karya teologisnya yang monumental Muhamad Abduh menselaraskan antara akal dan agama. Beliau berpandangan bahwa al-Qur’an yang diturunkan dengan pelantara lisan nabi di utus oleh tuhan. Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan akal.
2. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhamad Abduh adalah sistem pendidikan fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semua harus memiliki kemampuan dasar seperti membaca, manulis, dan menghitung. disamping itu, semua harus mendapatkan pendidikan agama.
Bagi sekolah menengah, diberikan mata pelajaran syari’at, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu pemerintah bagi siswa yang berminat terjun dan bekerja di pemerintahan. Kurikulum harus meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran dan tata cara berdebat.
Untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara lain tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsif-prinsif fiqh, histogarfi, seni berbicara.
Kurikulum tersebut di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di berikan pada setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan Muhamad Abduh, ia menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan melahirkan beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok masyarakat golongan pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat golongan pendidik. Dengan kurikulum yang demikian Muhamad Abduh mencoba menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan.
Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
·      Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di eropa kedalam al-azhar.
·      Mengubah sistgem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
·      Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid
·      Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
·      Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam. Usaha Muhamad Abduh kurang begitu lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.[11]
2.      KH ahmad Dahlan
Pandangan beliau mengenai tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan { stagnasi }, kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini semakin diperparah dengan politik colonial Belanda yang sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Karena itu beliau merentaskan beberapa pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk pendidikan model Muhammadiyah khususnya, antara lain;
a.       Pendidikan integralistik (Terpadu)
K.H Ahmad Dahlan adalah tipe man of action sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Beliau musti lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir beliau yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati, karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran aqli dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt. Pribadi K.H. Ahmad Dahlan  adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu “model” dari bangkitnya sebuah generasi yang merupakan “titik pusat” dari suatu pergerakan yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam.
Pendidikan di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini K.H. Ahmad Dahlan  “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu. Cita-cita pendidikan yang digagas Beliau adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan  melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan  bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya.
b.      Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda dalam Madrasah-madrasah Pendidikan Agama
Yaitu mengambil beberapa komponen pendidikan yang dipakai oleh lembaga pendidikan Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan dapat menyerap dan kemudian dengan gagasan dan prektek pendidikannya dapat menerapkan metode pendidikan yang dianggap baru saat itu ke dalam sekolah yang didirikannya dan madrasah-madrasah tradisional. Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan tradisional. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqa yang kelak menjadi bibit madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai catatan, tujuan umum lembaga pendidikan di atas baru disadari sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi Amir Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan Muhammadiyah menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah; Baik budi, alim dalam agama, luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu umum, bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.
c.     Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum Modern Belanda
Muhammadiyah baru memutuskan meminta kepada pemerintah agar memberi izin bagi orang Islam untuk mengajarkan agama Islam di sekolah-sekolah Goebernemen pada bulan April 1922. sebenarnya sebelum Muhammadiyah didirikan ini sudah diusahakan namun baru mendapat izin saat itu. Hingga akhirnya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah swasta yang meniru sekolah Gubernemen dengan pelajaran agama di dalamnya.Tujuan pokok organisasi dan pendirian lembaga pendidikan menjadi orientasi utama K.H. Ahmad Dahlan sehingga berusaha untuk menandingi sekolah pemerintahan Belanda dengan mengikuti contoh misi Kristen dengan menyebarkan fasilitas dan mendesakkan pengalaman iman. Sekolah Dasar Belada dengan al-Qur’an didirikan dari keterkesanannya terhadap kerja para misionaris Kristen dan SD Belanda dengan Alkitabnya. Sekolah Muhammadiyah mempertahankan dimensi Islam yang kuat, tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan sekolah-sekolah Islam yang lebih awal dengan gaya pesantrennya yang kental. Dengan contoh metode dan system pendidikan baru yang diberikannya. K.H. Ahmad Dahlan juga ingin memodernisasi sekolah keagamaan tradisional. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Muallimin dan Muallimat, Muballighin dan Muballighat.
Pandangan KH. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam bertitik tolak dari upaya pengembangan akal melalui proses pendidikan yng pada akhirnya akan bermuara pada tumbuhnya kreatifitas dan memberikan implikasi bagi warga Muhammadiyah untuk memiliki semangat tajdid, pembaharuan pendidikan Islam. Dengan demikian diharapakan lahirlah kader-kader Muslim sebagai bagian inti program pembaharuannya yang bisa menjadi ujung tombak gerakan Muhammadiyah dan membantu menyampaikan misi-misi dan melanjutkannya di masa depan. K.H. Ahmad Dahlan juga bekerja keras meningkatkan moral dan posisi kaum perempuan dalam kerangka Islam sebagai instrument yang efektif dan bermanfaat di dalam organisasinya karena perempuan merupakan unsur penting  berkat bantuan istri dan koleganya sehingga terbentuklah Aisyiah . di tempat-tempat tertentu, dibukalah masjid-masjid khusus bagi kaum perempuan, seseuatu yang jarang ditemukan di Negara-negara Islam lain bahkan hingga saat ini. K.H. Ahmad Dahlan juga membentuk gerakan pramuka Muhammadiyah yang diberi nama Hizbul Watan.[12]
3.      KH Hasyim Asyari
Dalam perkembangan pondok pesantrennya, KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior. Pada perkembangan selanjutnya Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu; masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarkan bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.
Menurut Hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat. Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahaun adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”. Karena Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Ada tiga hal yang di tekankan disini yaitu;
1.      Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.      Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa.
3.      Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
Catatan yang perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau. Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi mu’alim atau para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru, yaitu:
1.      Selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.
2.      Mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.
3.      Mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
4.      Berhati-hati dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.
5.      Tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.
6.      Khusyu dalam segala ibadahnya.
7.      Selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.
8.      Tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.
9.      Tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.
10.  Zuhud, dalam segala hal.
11.  Menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.
12.  Menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
13.  Selalu menghidupkan syiar islam dan menegakkan sunnah Rasul.
14.  Menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.
15.  Bergaul dengan sesama manusia secara ramah.
16.  Menyucikan jiwa.
17.  Selalu berusaha mempertajam ilmunya.
18.  Terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.
19.  Selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.
20.  Meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.
Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang ber-etika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak.[13]
PENUTUP

Dari penjelasam masalah masalah di atas ada kesimpulan bahwa pendidikan dengan segala unsurnya, meliputi obyaknya, subyeknya, dan hal yang menyangkut lingkungan sekitar, sangat membutuhkan perhatian khusus dan rencana-rencana matang.
Ada juga inofasi-inofasi yang berorientasikan pada kelancaran-kelancaran dalam mengarungi proses pendidikan. Karena hal ini akan mempengaruhi pada kesuksesan pendidik maupun peserta didik.
Hal ini di dasari pada pemikiran-pemikiran oleh para bapk-bapak pendahulu kita yang memang mumpuni di bidang pendidikan, dan itu membutuhkan sesuatu yang sangat ,matang.
Demikian penutup ini saya yakin masih terdapat kekurangan yang sangat banyak dan membutuhkan pembetulan-pembetulan, itu semua tidak terlepas dari pembelajaran saya dalam rangka menuntut ilmu, saya berharap ada manfaat dari pembuatan peper ini. Wassalam.


DAFTAR PUSTAKA

Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum Teaching.
Tjaya, Thomas Hidya, 2004, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis, Jakarta.
Hafidudin,Didin.2005.Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Bandung:Syaamil.
Syar’I, Ahmad. 2005,  filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.


[1] Tjaya, Thomas Hidya, 2004, Mencari Orientasi Pendidikan, Sebuah Perspektif Historis, Jakarta. 34.
[2] Ibid:35.
[3] Hafidudin,Didin.2005.Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Bandung:Syaamil.23-26.
[4] Ibid.27.
[5] Ibid: 31.
[6] Ibid: 39.
[7] H.Ahmad Syar’I, filsafat pendidikan Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta:2005, 21.
[8] Ibid: 97.
[9] Ibid:91.
[10] Ibid:102.
[11] Ibid:108.
[12] Ibid:110.
[13] Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum Teaching, 75.

1 komentar:

  1. Pendidikan(Kuliah) online gratis sobat.... info, kunjungi blog saya.... thanks

    BalasHapus