PEMBAHASAN
2.1 Biografi Az Zarnuji
Nama lengkapnya adalah Burhanuddin Al-Islam Al-Zarnuji. Tanggal kelahirannya belum diketahui secara pasti. Mengenai tanggal wafatnya, terdapat dua pendapat. Ada yang mengatakan beliau wafat pada tahun 591 H/1195 M, dan ada pula yang mengatakan beliau wafat pada tahun 840 H/1243 M. Hidup beliau semasa dengan Ridha Al-Din Al-Naisari, antara tahun 500-600 H. Tidak ada keterangan yang pasti mengenai tempat kelahirannya. Namun dilihat dari nisbahnya, Az Zarnuji, maka sebagian peneliti mengatakan bahwa beliau berasal dari zarnuji, suatu daerah yang kini dikenal dengan nama Afghanistan.[1]
Az Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan samarkand, dua kota yang menjadi pusat keilmuan dan pengajaran. Masjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim, yang diasuh antara lain oleh Burhanuddin Al-Marginani, Syamsuddin Abd Al-Wajdi Muhammad bin Muhammad bin Abd dan Al-Sattar Al-Amidi. Selain itu, Az Zarnuji juga belajar pada Rukn Al-Din Al-Firqinani, seorang ahli Fiqh, satrawan dan penyair (w. 594 H/1196 M), Hammad bin Ibrahim, seorang ahli ilmu kalam, sastrawan dan penyair (w. 564 H/1170 M) dan Rukn Al-Islam Muhammad bin Abi Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara dan ahli dalam bidang fiqh, sastra dan syair (w. 573 H/1177 M).
Az Zarnuji, selain ahli dalam bidang pendidikan dan tasawuf, juga menguasai bidang-bidang lain seperti sastra, fiqh, ilmu kalam dan sebagainya.
2.2 Situasi Pendidikan pada Zaman Az Zarnuji
Dalam sejarah pendidikan Islam, terdapat lima tahap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan. Pertama, pendidikan pada masa Nabi Muhammad saw. (571-632 M). Kedua, pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M). Ketiga, pendidikan pada masa Bani Umayyah di Damsyik (661-750 M). Keempat, pendidikan pada masa jatuhnya khalifah di Baghdad (1250-sekarang).
Dari periodisasi di atas, Az Zarnuji hidup pada masa keempat dari periode pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, antara 750-1250 M. Dalam catatan sejarah, periode ini merupakan zaman keemasan peradaban Islam, terutama dalam bidang pendidikan Islam. Pada masa itu kebudayaan Islam berkembang pesat dengan ditandai oleh tumbuhnya berbagai lembaga pendidikan, mulai tingkat dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Di antaranya adalah Madrasah Nizhamiyah, yang didirikan oleh Nizham Al-Mulk (457-1106 M), Madrasah Al-Nuriyah Al-Kubra, didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zanki (563-1167 M), Madrasah Al-Mustansyirah didirikan oleh khalifah Abbasyiah, Al-Mustansir Billah di Baghdad (631 H/1234 M).
Selain ketiga madrasah tersebut, masih banyak lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang pesat pada zaman Az zarnuji hidup. Dengan informasi tersebut, tampak jelas bahwa beliau hidup pada masa ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam mengalami puncak kejayaan, yaitu pada masa Abbasyiah yang ditandai dengan munculnya pemikir-pemikir Islam ensiklopedik yang sukar ditandingi. Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tersebut sangat menguntungkan bagi pembentukan Az Zarnuji sebagai seorang ilmuwan atau ulama yang luas pengetahuannya.[2]
2.3 Konsep Pendidikan Az Zarnuji
Konsep pendidikan beliau tertuang dalam karya monumentalnya, kitab “Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum”. Kitab ini diakui sebagai karya yang monumental dan sangat diperhitungkan keberadaannya. Kitab ini juga banyak dijadikan bahan penelitian dan rujukan dalam penulisan karya-karya ilmiah, terutama dalam bidang pendidikan. Kitab ini tidak hanya digunakan oleh ilmuwan Muslim saja, tetapi juga dipakai oleh para orientalis dan penulis barat.
Keistimewaan lain dari kitab Ta’lim Muta’allim ini terletak pada materi yang dikandungnya. Meskipun kecil dan dengan judul yang seakan-akan hanya membahas metode belajar, sebenarnya esensi kitab ini juga mencakup tujuan, prinsip-prinsip dan strategi belajar yang didasarkan pada moral religius. Kitab ini tersebar hampir ke seluruh penjuru dunia. Kitab ini juga dicetak dan diterjemahkan serta dikaji di berbagai dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Di Indonesia, kitab Ta’lim Muta’allim dikaji dan dipelajari hampir di setiap lembaga pendidikan klasik tradisional seperti pesantren, bahkan di pondok pesantren modern. Dari pembahasan kitab ini, dapat diketahui tentang konsep pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji, antara lain:
1. Hakikat ilmu dan keutamaannya
2. Niat belajar
3. Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar
4. Menghormati ilmu dan ulama
5. Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat
6. Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya
7. Tawakkal kepada Allah SWT
8. Saat terbaik untuk belajar
9. Kasih sayang dan memberi nasehat
10. Mengambil pelajaran
11. Wara’ (menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar
12. Penyebab hafal dan lupa
13. Masalah rezeki dan umur
1. Hakikat ilmu dan keutamaannya
Belajar itu hukumnya fardlu bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian, menurut Az zarnuji manusia tidak diwajibkan mempelajari segala macam ilmu, tetapi hanya diwajibkan mempelajari ilm al hal (pengetahuan-pengetahuan yang selalu dperlukan dalam menjunjung kehidupan agamanya). Dan sebaik-baik amal adalah menjaga hal-hal.[3]
Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu yang diperlukan setiap saat. Karena manusia diwajibkan shalat, puasa dan haji, maka ia juga diwajibkan mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara pada perbuatan wajib, maka wajib pula hukumnya.
Demikian pula, manusia wajib mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan berbagai pekerjaan atau kariernya. Seseorang yang sibuk dengan tugas kerjanya (misalnya berdagang), maka ia wajib mengetahui bagaimana cara menghindari haram. Di samping itu, manusia juga diwajibkan mempelajari ilmu ahwal al-qalb, seperti tawakkal, ridla dan sebagainya.
Akhlak yang baik dan buruk serta cara menjauhinya, menurut Az Zarnuji juga harus dipelajari, agar ia senantiasa bisa menjaga dan menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Mempelajari ilmu yang kegunaannya hanya dalam waktu-waktu tertentu, hukumnya fardlu kifayah seperti ilmu shalat jenazah. Dengan demikian, seandainya ada sebagian penduduk kampung telah melaksanakan fardlu kifayah tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Tetapi jika seluruh penduduk kampung tersebut tidak melaksanakannya, maka seluruh penduduk itu menanggung dosa. Dengan kata lain, ilmu fardlu kifayah adalah di mana setiap umat Islam sebagai suatu komunitas diharuskan menguasainya, seperti ilmu pengobatan, ilmu astronomi, dan lain sebagainya.[4]
Sedangkan mempelajari ilmu yang tidak ada manfaatnya atau bahkan membahayakan adalah haram hukumnya seperti ilmu nujum (ilmu perbintangan yang biasanya digunakan untuk meramal). Sebab, hal itu sesungguhnya tidak bermanfaat dan justru membawa marabahaya karena lari dari kenyataan takdir Allah tidak akan mungkin terjadi. Ilmu menurut Az Zarnuji adalah sifat yang kalau dimiliki oleh seseorang, maka menjadi jelaslah apa yang terlintas di dalam pengertiannya. Adapun fiqh adalah pengetahuan tentang kelembutan-kelembutan ilmu. Sedangkan mengenai keutamaan ilmu, Az Zarnuji mengutip ungkapan seorang penyair sebagai berikut:
Belajarlah, karena ilmu adalah hiasan bagi penyandangnya, keutamaan dan tanda semua akhlak yang terpuji. Usahakanlah, setiap hari menambah ilmu dan berenanglah di lautan ilmu yang bermanfaat. Belajarlah ilmu fiqh, karena ia pandu yang paling utama pada kebaikan, taqwa dan adilnya orang yang paling adil. Ia adalah tanda yang membawa pada jalan petunjuk, ia adalah benteng yang menyelamatkan dari segala kesulitan. Karena seorang ahli fiqh yang menjauhi perbuatan haram adalah lebih membahayakan bagi setan dari pada seribu orang yang beribadah.
2. Niat belajar
Mengenai niat dan tujuan belajar, Az Zarnuji mengatakan bahwa niat yang benar dalam belajar adalah untuk mencari keridlaan Allah SWT., memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain, mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam, dan mensyukuri nikmat Allah.
Sehubungan dengan hal ini, Az Zarnuji mengingatkan agar setiap penuntut ilmu tidak sampai keliru menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar yang diniatkan untuk mencari pengaruh, mendapatkan kenikmatan duniawi atau kehormatan dan kedudukan tertentu. Jika masalah niat ini sudah benar, tentu ia akan merasakan kelezatan ilmu dan amal serta berkuranglah kecintaannya pada harta dunia.[5]
3. Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar
Peserta didik hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan agamanya pada waktu itu, lalu yang untuk waktu mendatang. Ia perlu mendahulukan ilmu tauhid dan ma’rifat beserta dalilnya. Semikian pula, perlu memilih ilmu ‘atiq (kuno).
Dalam memilih pendidik hendaknya mengambil yang lebih wara’, alim, berlapang dada dan penyabar. Dan peserta didik juga harus sabar dan tabah dalam belajar kepada pendidik yang telah dipilihnya serta sabar dalam menghadapi berbagai cobaan.
Peserta didik hendaknya memilih teman yang tekun, wara’, jujur, dan mudah memahami masalah. Dan perlu menjauhi pemalas, banyak bicara, penganggur, pengacau dan pemfitnah. Seorang penyair mengatakan: “Teman durhaka lebih berbahaya dari pada ular yang berbisa demi Allah Yang Maha Tinggi dan Suci teman buruk membawamu ke neraka Jahim sedangkan teman baik mengajakmu ke syurga Na’im.”
Di samping itu, Az Zarnuji juga menganjurkan pada peserta didik agar bermusyawarah dalam segala hal yang dihadapi. Karena ilmu adalah perkara yang sangat penting, tetapi juga sulit, maka bermusyawarah di sini menjadi lebih penting dan diharuskan pelaksanaannya.[6]
4. Menghormati ilmu dan ulama
Menurut Az Zarnuji, peserta didik harus menghormati ilmu, orang yang berilmu dan pendidiknya. Sebab apabila melukai pendidiknya, berkah ilmunya bisa tertutup dan hanya sedikit kemanfaatannya. Sedangkan cara menghormati pendidik di antaranya adalah tidak berjalan di depannya, tidak menempati tempat duduknya, tidak memulai mengajak bicara kecuali atas izinnya, tidak bicara macam-macam di depannya, tidak menanyakan suatu masalah pada waktu pendidiknya lelah, dan tidak duduk tertalu dekat dengannya sewaktu belajar kecuali karena terpaksa. Pada prinsipnya, peserta didik harus melakukan hal-hal yang membuat pendidik rela, menjauhkan amarahnya dan mentaati perintahnya yang tidak bertentangan dengan agama Allah.
Termasuk menghormati ilmu adalah menghormati pendidik dan kawan serta memuliakan kitab. Oleh karena itu, peserta didik hendaknya tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci. Demikian pula dalam belajar, hendaknya juga dalam keadaan suci. Sebab ilmu adalah cahaya, wudlupun cahaya, maka akan semakin bersinarlah cahaya ilmu itu dengan wudlu. Peserta didik hendaknya juga memperhatikan catatan, yakni selalu menulis dengan rapi dan jelas, agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Di samping itu, peserta didik hendaknya dengan penuh rasa hormat, ia selalu memperhatikan secara seksama terhadap ilmu yang disampaikan padanya, sekalipun telah diulang seribu kali penyampaiannya.
Untuk menentukan ilmu apa yang akan dipelajari, hendaknya ia musyawarah dengan pendidiknya, sebab pendidik sudah lebih berpengalaman dalam belajar serta mengetahui ilmu pada seseorang sesuai bakatnya. Az Zarnuji juga mengingatkan agar peserta didik selalu menjaga diri dari akhlak tercela, terutama sikap sombong.
5. Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat
Peserta didik harus sungguh-sungguh di dalam belajar dan mampu mengulangi pelajarannya secara kontinu pada awal malam dan di akhir malam, yakni waktu antara maghrib dan isya’ dan setelah waktu sahur, sebab waktu-waktu tersebut kesempatan yang memberkahi.
Peserta didik jangan sampai membuat dirinya terlalu kepayahan, sehingga lemah dan tidak mampu berbuat sesuatu. Kesungguhan dan minat yang kuat adalah merupakan pangkal kesuksesan. Oleh karena itu, barang siapa mempunyai minat yang kuat untuk menghafal sebuah kitab misalnya. Maka menurut ukuran lahiriyah, tentu ia akan mampu menghafalnya, separuh, sebagian besar, atau bahkan seluruhnya.
6. Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya
Belajar hendaknya dimulai pada hari rabu, sebab hari itu Allah menciptakan nur (cahaya), hari sialnya orang kafir yang berarti hari berkahnya orang mukmin. Bagi pemula hendaknya mengambil pelajaran yang sekiranya dapat dikuasai dengan baik setelah di ulangi dua kali. Kemudian tiap hari ditambah sedikit demi sedikit, sehingga apabila telah banyak masih mungkin dikuasai secara baik dengan mengulanginya dua kali, seraya ditambah sedikit demi sedikit lagi. Selain itu, untuk pemula hendaknya dipilihkan kitab-kitab yang kecil, sebab dengan begitu akan lebih mudah dimengerti dan dikuasai dengan baik serta tidak menimbulkan kebosanan. Ilmu yang telah dikuasai dengan baik, hendaknya dicatat dan diulangi berkali-kali. Jangan sampai menulis sesuatu yang tidak dipahami, sebab hal itu bisa menumpulkan kecerdasan dan waktupun hilang dengan sia-sia belaka.
Diskusi, menurut Az zarnuji juga perlu dilakukan oleh peserta didik. Manfaat diskusi lebih besar dari pada sekedar mengulangi, sebab dalam diskusi, selain mengulangi juga menambah ilmu pengetahuan. Az Zarnuji juga mengingatkan agar diskusi dilaksanakan dengan penuh kesadaran serta menghindari hal-hal yang membawa akibat negatif.
Peserta didik hendaknya membiasakan diri senang membeli kitab. Sebab hal itu akan bisa memudahkan ia belajar dan menelaah pelajarannya. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha sedapat mungkin menyisihkan uang sakunya untuk membeli kitab. Menurut Az Zarnuji peserta didik di masa dahulu belajar bekerja dulu, baru kemudian belajar, sehingga tidak tamak kepada harta orang lain.
7. Tawakkal kepada Allah SWT
Dalam belajar, peserta didik harus tawakkal kepada Allah dan tidak tergoda oleh urusan rezeki. Peserta didik hendaknya tidak digelisahkan oleh urusan duniawi, karena kegelisahan tidak bisa mengelakkan musibah, bahkan membahayakan hati, akal, badan dan merusak perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu, hendaknya peserta didik berusaha untuk mengurangi urusan duniawi.
Peserta didik hendaknya bersabar dalam perjalanannya mempelajari ilmu. Perlu disadari bahwa perjalanan mempelajari ilmu itu tidak akan terlepas dari kesulitan, sebab mempelajari ilmu merupakan suatu perbuatan yang menurut kebanyakan ulama lebih utama dari pada berperang membela agama Allah. Siapa yang bersabar menghadapi kesulitan dalam mempelajari ilmu, maka ia akan merasakan lezatnya ilmu melebihi segala kelezatan yang ada di dunia.
8. Saat terbaik untuk belajar
Masa belajar adalah semenjak dari buaian hingga masuk liang lahat. Adapun masa yang cemerlang untuk belajar adalah awal masa muda. Belajar dilakukan pada waktu sahur dan waktu antara maghrib dan isya’. Namun sebaiknya peserta didik memanfaatkan seluruh waktunya untuk belajar. Bila telah merasa bosan mempelajari suatu ilmu hendaknya mempelajari ilmu yang lain.
9. Kasih sayang dan memberi nasehat
Orang alim hendaknya memiliki rasa kasih sayang, mau memberi nasehat dan jangan berbuat dengki. Peserta didik hendaknya selalu berusaha menghiasi dirinya dengan akhlak mulia. Dengan demikian orang yang benci akan luluh sendiri. Jangan berburuk sangka dan melibatkan diri dalam permusuhan, sebab hal itu hanya menghabiskan waktu serta membuka aib sendiri.
10. Mengambil pelajaran
Peserta didik hendaknya memanfaatkan semua kesempatannya untuk belajar, hingga dapat mencapai keutamaan. Caranya dengan menyediakan alat tulis disetiap saat untuk mencatat hal-hal ilmiah yang diperolehnya.
Az zarnuji mengingatkan bahwa umur itu pendek dan ilmu itu banyak. Oleh karena itu peserta didik jangan sampai menyia-nyiakan waktunya, hendaklah ia selalu memanfaatkan waktu-waktu malamnya dan saat-saat yang sepi. Di samping itu peserta didik hendaknya berani menderita dan mampu menundukkan hawa nafsunya.
11. Wara’ (menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar
Di waktu belajar hendaknya peserta didik berlaku wara’, sebab dengan begitu ilmunya akan lebih bermanfaat, lebih besar faedahnya dan belajarpun lebih mudah. Sedangkan yang termasuk perbuatan wara’ antara lain menjaga diri dari terlalu kenyang, terlalu banyak tidur dan terlalu banyak membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Di samping itu, jangan sampai mengabaikan adab kesopanan dan perbuatan-perbuatan sunnah. Hendaknya memperbanyak shalat dan melaksanakannya secara khusyuk, sebab hal itu akan membantunya dalam mencapai keberhasilan studinya. Dalam hal ini Az Zarnuji juga mengingatkan kembali agar peserta didik selalu membawa buku untuk dipelajari dan alat tulis untuk mencatat segala pengetahuan yang didapatkannya.ada ungkapan bahwa barang siapa tidak ada buku di sakunya maka tidak ada hikmah dalam hatinya.
12. Penyebab hafal dan lupa
Yang paling kuat menyebabkan mudah hafal adalah kesungguhan, kontinu, mengurangi makan, melaksanakan shalat malam, membaca al-Quran, banyak membaca shalawat Nabi dan berdoa sewaktu mengambil buku serta seusai menulis.
Adapun penyebab mudah lupa antara lain perbuatan maksiat, banyak dosa, gelisah karena urusan-urusan duniawi dan terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi.
13. Masalah rezeki dan umur
Peserta didik perlu mengetahui hal-hal yang bisa menambah rizki, umur dan lebih sehat, sehingga dapat mencurahkan segala kemampuannya untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Bangun pagi-pagi itu diberkahi dan membawa berbagai macam kenikmatan, khususnya rizki. Banyak bersedekah juga bisa menambah rizki. Adapun penyebab yang paling kuat untuk memperoleh rizki adalah shalat dengan ta’zhim, khusyu’ sempurna rukun, wajib, sunnah dan adatnya. Di antara faktor penyebab tambah umur adalah berbuat kebajikan, tidak menyakiti orang lain, bersilaturrahim dan lain sebagainya. Terlalu berlebihan dalam membelanjakan harta, bermalas-malasan, menunda-nunda dan mudah menyepelekan suatu perkara, semua itu bisa mendatangkan kefakiran seseorang.
Menurut Az zarnuji, peserta didik juga harus belajar ilmu kesehatan dan dapat memanfaatkannya dalam menjaga kesehatan dirinya. Demikianlah deskripsi isi kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum karya Az Zarnuji. Beliau menulis kitab seperti itu, karena di masanya beliau mengetahui banyak peserta didik yang telah belajar dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak bisa menyiarkannya. Menurut Az zarnuji hal tersebut dikarenakan mereka salah jalan dan meninggalkan syarat-syarat yang seharusnya mereka penuhi. Oleh karena itu, beliau menulis kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum dengan maksud menjelaskan kepada para peserta didik tentang cara yang seharusnya mereka tempuh agar tidak salah jalan, sehingga studi yang ditempuhnya bisa berhasil secara optimal dan bermanfaat.
2.4 Pemikiran Az Zarnuji tentang pola hubungan guru dan murid
Ada beberapa pemikiran Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum yang memberi acuan terhadap pola hubungan guru dan murid.
· Murid tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat tanpa adanya pengagungan dan pemuliaan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya (guru), menjadi semangat dan dasar adanya penghormatan murid terhadap guru. Posisi guru yang mengajari ilmu walaupun hanya satu huruf dalam konteks keagamaan disebut bapak spiritual, sehingga kedudukan guru sangat terhormat dan tinggi, yang memberi konsekuensi bagi sikap dan perilaku murid sebagai manifestasi penghormatan terhadap guru baik dalam lingkungan formal maupun nonformal. Sementara tingginya ilmu yang dimiliki oleh guru, menjadikan fungsi guru sebagai dokter, menunjukkan nilai kepercayaan dan pentingnya nasehat bagi murid dalam mencapai tujuan belajar yang optimal.
· Kontekstualisasi hubungan guru murid menurut Az Zarnuji, menunjukkan bahwa penempatan guru pada posisi terhormat terkait oleh sosok guru yang ideal. Yaitu guru yang memenuhi kriteria dan kualifikasi kepribadian sebagai guru yang memiliki kecerdasan ruhaniyah dan tingkat kesucian tinggi, di samping kecerdasan intelektual. Dalam bahasa Az Zarnuji, guru ideal adalah guru yang alim, wira’i dan mempunyai kesalehan sebagai aktualisasi keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab terhadap amanat yang diemban untuk menggapai ridla Allah swt.[7]
Dengan demikian, pemikiran Az Zarnuji berupaya membawa lingkungan belajar pada tingkat ketekunan dan kewibawaan guru dalam ilmu dan pengajarannya. Sedangkan murid sebagai individu yang belajar, menunjukkan keseriusan dan kesungguhan dalam belajar sebagai manifestasi daya juang dalam pencapaian ilmu yang diajarkan oleh guru dalam rangka mencari ridla Allah SWT. dan untuk menuai kemanfaatannya. Karena itu, pola hubungan guru dan murid yang tercipta adalah pola hubungan timbal balik yang menempatkan posisi guru dan murid sesuai proporsi masing-masing menuju tercapainya tujuan pendidikan yang optimal, yaitu terbentuknya pribadi yang berakhlakul karimah.
2.5 Metode pembelajaran
Dalam kitab Ta’lim Muta’allim Az Zarnuji menjelaskan bahwa metode pembelajaran meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik mencakup niat dalam belajar. Kedua, metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar.
1) Cara memilih pelajaran; bagi orang yang mencari ilmu sebaiknya mendahulukan memilih/mempelajari ilmu yang dibutuhkan dalam urusan-urusan agamanya, seperti ilmu tauhid.
2) Cara memilih guru; sebaiknya memilih guru yang lebih alim, wara’ dan umurnya lebih tua dari kita.
3) Cara memilih teman; mencari teman yang rajin, wara’ dan berwatak baik, mudah paham akan pelajaran, tidak malas, tidak banyak bicara dan lain sebagainya.
4) Langkah-langkah dalam belajar; mengenai hal ini, termasuk juga aspek teknik pembelajaran, menurut Grunebaum dan Abel, terdapat lima hal yang menjadi sorotan Az Zarnuji, yaitu (1) the curruculum and subject matter, (2) the choice of setting and teacher, (3) the time for study, (4) dynamics of learning, (5) the student’s relationship to other.[8]
2.6 Relevansinya dengan sistem pendidikan kontemporer
Konsep pendidikan yang tertuang dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum karya Az Zarnuji, relatif bagus dalam persoalan bimbingan belajar. Hanya saja ketika mempelajari konsep pendidikan Az Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim harus disertai dengan pemahaman yang dalam, karena belum tentu apa yang dikonsepsikan oleh Az Zarnuji dapat pula diterapkan pada saat ini. Seperti membaca tulisan pada nisan dapat menyebabkan lupa, menyapu di malam hari dapat menghambat rizki. Hal-hal tersebut sudah tidak bisa lagi diterapkan karena sudah dipandang tidak logis.
Sebenarnya bila dikaji lagi banyak sekali hal-hal yang yang masih relevan untuk diterapkan sebagaimana juga ada beberapa pendapat beliau yang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu, tidak baik untuk menolak isi kitab ini begitu saja, sama juga dengan tidak bijaknya menerima begitu saja tanpa mencari kebenarannya.
Maka jika kitab ini dikaji di pesantren, supaya tidak menimbulkan akses yang tidak diinginkan, sebaiknya diajarkan oleh seorang guru yang mempunyai pemahaman mendalam mengenai bimbingan belajar, sehingga bila memenuhi gagasan yang dianggap kurang relevan dengan zaman sekarang, bisa mengadakan reinterpretasi atau merefleksikan dengan masa Az Zarnuji hidup.
Karya besar ini sebenarnya dapat dan sangat bisa diterapkan ke arah luar pesantren baik itu madrasah atau sekolah-sekolah umum. Karena bisa diketahui dari analisis konsep pendidikan Az Zarnuji cukup banyak yang masih relevan dan baik untuk diajarkan dan ditanamkan sejak dini.
Pada metodologi pendidikan macam apapun, ekses pasti ada. Ekses yang yang seringkali dimunculkan untuk menyudutkan Ta’lim adalah aspek kepatuhan pada guru yang hampir mematikan dinamika. Meskipun, Az Zarnuji sendiri tidak pernah menganjurkan murid “mengiyakan” kesalahan guru. Pada dasarnya pendidikan yang berhasilbukanlah diciptakan oleh sekolah dan pesantren saja, akan tetapi dukungan dari semua pihak yaitu orang tua dan guru sebagai teladan dan lingkungan sebagai pengaruh pergaulan terbesar dalam hidup seorang anak. Dan hal ini memang sangat sulit sekali karena memang semua orang bisa memberikan mauidlatul hasanah namun hanya orang-orang pilihan yang mampu menjadi uswatun hasanah.
Kalaupun misalnya hal itu benar-benar ada dan memang pengaruh Ta’lim Muta’allim, maka pasti terjadi secara aksiden dan memiliki faktor serta sumber latar belakang yang sangat komplek. Misalnya, faktor psikologi, sarana, budaya regional atau juga pengaruh tradisi feodal kerajaan jawa yang masih belum sepenuhnya mati.
Kontekstualisasi terhadap hubungan guru dan murid saat sekarang adalah pemahaman terhadap pemikiran Az Zarnuji yang signifikan yang bernafas pada religius ethics. Dengan mengambil nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam pemikiran Az zarnuji tersebut, berarti kita telah menggali dan menghidupkan kembali nilai-nilai etika dalam proses pendidikan dan sekaligus menjadikannya sebagai dasar pembentukan akhlak dan landasan dam membina hubungan yang harmonis antara guru dengan murid yang berorientasi pada hubungan yang etis-humanis.
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Konsep pendidikan Islam yang dikemukakan Az Zarnuji, antara lain: (1) Hakikat ilmu dan keutamaannya; (2) Niat belajar; (3) Memilih guru, ilmu, teman dan ketabahan dalam belajar; (4) Menghormati ilmu dan ulama; (5) Sungguh-sungguh, kontinuitas dan minat yang kuat; (6) Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya; (7) Tawakkal kepada Allah SWT; (8) Saat terbaik untuk belajar; (9) Kasih sayang dan memberi nasehat; (10) Mengambil pelajaran; (11) Wara’ (menjaga diri dari yang syubhat dan haram) pada masa belajar; (12) Penyebab hafal dan lupa; (13) Masalah rezeki dan umur
Menurut beliau tentang pola hubungan murid dan guru adalah sebagai berikut: Murid tidak akan memperoleh ilmu yang bermanfaat tanpa adanya pengagungan dan pemuliaan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya (guru), menjadi semangat dan dasar adanya penghormatan murid terhadap guru. guru ideal adalah guru yang alim, wira’i dan mempunyai kesalehan sebagai aktualisasi keilmuan yang dimiliki serta tanggung jawab terhadap amanat yang diemban untuk menggapai ridla Allah swt.
Metode pembelajaran menurut beliau meliputi dua kategori. Pertama, metode yang bersifat etik mencakup niat dalam belajar. Kedua, metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar.
Beliau menulis kitab seperti itu, karena di masanya beliau mengetahui banyak peserta didik yang telah belajar dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak bisa menyiarkannya. Menurut Az zarnuji hal tersebut dikarenakan mereka salah jalan dan meninggalkan syarat-syarat yang seharusnya mereka penuhi. Oleh karena itu, beliau menulis kitab Ta’lim al-Muta’allim Thuruq al-Ta’allum dengan maksud menjelaskan kepada para peserta didik tentang cara yang seharusnya mereka tempuh agar tidak salah jalan, sehingga studi yang ditempuhnya bisa berhasil secara optimal dan bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, 2010, Teori belajar dan pembelajaran, Jogjakarta: Ar-Ruzz media
Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, 2009, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Press
Jalaluddin dan Usman Said, 1996. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada.
[1] Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, 2010, Teori belajar dan pembelajaran, Jogjakarta: Ar-Ruzz media, hal. 50
[2] Ibid., hal. 51
[3] Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, 2009, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik Hingga Kontemporer, Malang: UIN Press, hal. 268
[4] Baharuddin dan Esa Nur wahyuni, op. Cit., hal. 53
[5] Ibid., hal. 54
[6] Tim Dosen fakultas tarbiyah UIN Maliki Malang, op. Cit., hal 272
[7] Burhanuddin dan Esa nur Wahyuni, op. Cit., hal. 56
[8] Ibid., hal. 56