![]() |
encompassindonesia.wordpress.com |
Indonesia adalah salah satu negara multikultural
terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural
maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Berdasarkan permasalahan di
atas, maka diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut
melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan
dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif
melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan
keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti
keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur,
dll.
Pendidikan multuikultural didefinisikan sebagai
sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsipprinsip pemeliharaan budaya
dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam
masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program
pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam
mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya (Banks, 1993). Dalam
konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa
secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di
berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda.
Premis (Asumsi Teoritik)
Asumsi teoritik yang digunakan dalam mengembangkan model pendidikan dan/atau program pembelajaran multikultural adalah sebagai berikut.
Asumsi teoritik yang digunakan dalam mengembangkan model pendidikan dan/atau program pembelajaran multikultural adalah sebagai berikut.
Pertama, bahwa sekolah-sekolah belum sepenuhnya
terpenuhi kebutuhannya, baik itu kebutuhan sosial maupun kebutuhan akademiknya.
Substansi pembelajaran (materi pelajaran) di sekolah belum sepenuhnya digali
dari khasanah sosial dan kultural esensial (suku, agama, ras, tradisi, kearifan
lokal dan sebagainya) masyarakat, khususnya masyarakat minoritas termasuk yang
miskin, yang tidak/kurang berpendidikan, maupun yang berspektif jender.
Dikebanyakan masyarakat Indonesia, wanita sering memperoleh peran dan kedudukan
tak adil dibandingkan pria. Perlakuan kurang adil disebabkan oleh harapan
masyarakat yang bersifat stereotip, akibatnya wanita menjadi subordinasi kaum
pria. Konsekuensinya maka kurikulum pendidikan multikultural mengandung
unsur-unsur keadilan gender, suku, agama, ras maupun kelompok-kelompok
minoritas.
Kurikulum pendidikan multikultural dirancang sedemikian rupa sehingga menyediakan kesempatan untuk memperoleh dan menikmati pendidikan bermutu dan tidak segregatip. Praktek-praktek kurikulum yang segregatip
akan melanggengkan dan meligitimasi ketimpangan dan disparitas dalam masyarakat (Hamilton, 1973; Amoda, 1972; McCoy, 1970; Fantini, 1970; Baumann, 1999).
Kurikulum pendidikan multikultural dirancang sedemikian rupa sehingga menyediakan kesempatan untuk memperoleh dan menikmati pendidikan bermutu dan tidak segregatip. Praktek-praktek kurikulum yang segregatip
akan melanggengkan dan meligitimasi ketimpangan dan disparitas dalam masyarakat (Hamilton, 1973; Amoda, 1972; McCoy, 1970; Fantini, 1970; Baumann, 1999).
Kedua, bahwa lingkungan sosial pebelajar justru
sering mengorbankan hampir semua kebutuhan dan jati diri pebelajar di sekolah.
Suzuki lebih lanjut berpandangan bahwa: “The sociocultural milieu of
the schools has victimized all students by reinforcing and perpetuating
prejudicial attitudes and values, and inadequately developing their capacity
for understanding and critically analyzing pressing social problems, thereby,
giving them little help in developing the moral commitment and the necessary
skills for the building of a more equitable and therefore, better society
(1979:47).
Ketiga, bahwa dengan semakin banyaknya kampanye,
kothbah atau ceramah tentang nilai-nilai seperti demokrasi, kebebasan,
keadilan, persamaan derajat dan sejenisnya, maka struktur sosial sekolah akan
dapat mempromosikan nilai serta prilaku yang baik dan ideal. Misalnya, sistem
penjurusan atau kegiatan lomba sering memiliki dampak terbalik (counter
productive) terhadap nilai kerjasama, altruistik dan elitis. Sebaliknya
struktur sekolah yang egalitarian sering menciptakan suasana konformitas,
loyal, setia, taat dan sejenisnya, yang sesungguhnya membunuh sikap
memberdayakan diri (Harsono, 2000; Sumartana, 2001; Suparlan, 2001; Susetyo,
2001). Sepatutnya sekolah sebagai tempat pembelajaran bagi siswa dari berbagai
kultur yang berbeda-beda, sebab melalui proses belajar mengajar melahirkan
tingkah laku sosial, menyepakati norma dan nilai bersama membangun struktur
kelembagaan.
Keempat, bahwa sekolah tidak dapat menghindar dari
kegiatan mentransmisikan nilai kepada anak didik. Banyak nilai-nilai luhur
ditransmisikan lewat kurikulum tersembunyi (Widja, 2001; Hasan,2000). Dalam
anggapan ini terselip pula anggapan bahwa tidak seorang pendidikpun yang luput
dari kewajiban untuk mentransmisikan nilai kepada anak didik. Pendidikan
multikultural bertujuan untuk ‘promoting some rather explicit values such as
democracy, freedom, equality and resfect for diversity’ (Suzuki,1979; cfWCEFA,
1999; UNESCO, 1992). Demikian pula anak didik diasumsikan bersikap bebas, tidak
ada beban psikologis dan merasa terdorong untuk bertanya atau mengkritisi
nilai-nilai tersebut dan bebas untuk menerima atau menolak nilai-nilai yang
disodorkankepadanya. Dalam asumsi ini terkandung sikap dan unsur kreatifitas,
produktifitas dan kemandirian pada anak (Ford, 1979; Gay, 1977).
Kelima, sekolah memiliki kemampuan untuk beroperasi
sendiri dalam mentransmisikan nilai-nilai luhur tersebut, maka dari itu sekolah
hanya berfungsi sebagai wahana utama perubahan sosial. Peran pendidik yang
paling utama adalah membantu siswa untuk dapat mengkonseptualisasikan dan
mengaspirasikan sebuah masyarakat yang lebih baik. Pendidik juga memiliki peran
membantu siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, pemahaman yang
memungkinkan perubahan perubahan yang diperlukan. Pendidik diasumsikan dapat
meningkatkan kualitas sekolah bagi kepentingan siswa secara historis selalu
dimarjinalisasi.
Referensi:
Al-Hakim, Suparlan. 2002. Strategi Pembelajaran
Berdasarkan Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT), P3G, Dirjen Dikdasmen.
Ali, Muhamad. 2003. Teologi
Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta.
Penerbit Buku Kompas.
Banks, J.A. 1993. “Multicultural Educatian:
Historical Development, Dimentions and Practrice” In Review of Research in
Education, vol. 19, edited by L. Darling- Hammond. Washington, D.C.: American
Educational Research Association.
Jary,D dan Jary,J. 1991. Multiculturalism.
Dictionary of Sociology. New York: Harper.
Salamah, Husniyatus. Pendidikan Multikultural: Upaya
Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah.
http://www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Husniyatus%20Salamah.doc.
diakses 22 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar