Selasa, 14 Juni 2011

Ushul fiqh

A.    Hukum Taklifie
1.      Pengertian hukum taklifie
Hukum taklifie adalah firman Allah swt yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sasuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.[1] Seperti pada surat An-Nur: 56, yang menunujukkan arti tuntutan untuk melakuakn perbuatan:
وَاَقِيْمُواالصَّلوةَ واتُواالزَّكوة واطِيْعُوالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ،  النور:56
“Dan dirikanlah sholat tunaikanlah zakat dan taaitlah rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Qs. An-nur: 56)
Surat Al-baqarah ayat: 188, yang menunjukkan arti tuntutan meninggalkan perbuatan:
 “Janganlah kamu memakan harta diantara kamu dengan jalan batil (Qs. Al-Baqarah: 188)
Dan pada surat Al-baqarah ayat: 187, yang menunjukkan arti memilih:
 “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.(Qs. Al-Baqarah: 187)
2.      Bentuk bentuk hukum taklifie
Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hikim taklifie: Pertama, bentuk-bentuk hukum taklifie menurut jumhurul ulam ushul fiqh atau mutakallimin. Menurut mereka bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam. Yaitu ijab, nadb, ibahah, karohah, dan tahrim. Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifie seperti iftiradh, ijab, nadb, ibahah, karohah tanzhiliyah, karohan tahrimiyah, dan tahrim.
Menurut Imam Syafi’i, penggolongan (didasarkan pada sanksinya) tersebut terdiri:
a.       Wajib
Perbuatan atas dasar perintah yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala kalau ditinggalkan akan berdosa.
Hukum wajib dapat dibedakan menjadi:
1). Ditinjau dari Segi Waktu untuk melaksanakannya:
a). Wajib al- muthlaq yaitu; perintah yang tidak ditentukkan waktu tertentu untuk melaksanakannya, misalnya ibadah haji bagi yang sudah mampu.
b). Wajib al-mu’aqqat yaitu; perintah yang ditentukkan waktu untuk melaksanakannya, misalnya puasa ramadhan.
2). Ditinjau dari Segi Siapa yang wajib melaksanakannya:
a). Wajib al-‘aini yaitu perbuatan yang harus dilakukan oleh setiap orang yang sudah dewasa, conoh: kewajiban melaksanakan shalat bagi orang yang mukallaf,
b). Wajib al-kifa’i yaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan secara kolektif, atau kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak mengerjakannya tidak di tuntut untuk melaksanakannya, contoh: pelaksanaan shalat jenazah. Akan tetapi Wajib kifayah bisa menjadi wajib aini apabila yang bertanggung jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang. Contoh; menolong orang tenggelam disungai atau laut, orang yang menyaksikan itu semua terkena wajib kifayah untuk menolongnya, akan tetapi, jika orang yang menyaksikan hanya satu yang pandai berenang maka orang itu terkena wajib ain untuk menolongnya.[2]
3). Ditinjau dari segi kuantitasnya
a). Wajib al-muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan kadarnya (jumlahnya) oleh syara’. Contoh: jumlah harta yang wajib dizakatkan dan jumlah rakaat dalam shalat.
b). Wajib Ghairu al-muhaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukkan batas kadarnya, akan tetapi diserahkan kepada ulama dan pemimpin ummat untuk menentukannya. Contoh: penentuan hukuman dalam jarimah (tindak pidana diluar hudud dan qihash)
4). Ditinjau dari segi kendungan perintah
a). Wajib al-mu’ayyan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Contoh: shalat dan puasa pekerjaan yang pada dirinya adalah wajib, adanya harga dalam jual beli dll.
b). Wajib al-mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat dipilih dari alternative yang ada. Contohnya: kafarat sumpah itu terdiri atas memberimakan fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak. [3]
b.      Sunnah
Perbauatan atas dasar suruhan atau anjuran yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala sedang jika ditinggalkan tidak berdosa.
Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam:
1). Sunnah ‘Amiyah yaitu perbuatan yang diajurkan untuk dilakukan oleh setiap muslim.
2). Sunnah Kifayah yaitu perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan cukup seorang saja.
3). Sunnah Mu’akkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu dikerjakan oleh Rasul. Akan tetapi pekerjaan seperti ini jika ditinggalkan mendapat celaan, contohnya: shalat-halat sunnah sebelum shalat wajibadzan, berjamah dll.
Menurut Imam Muhammad Abu Zahra, pekerjaan seperti ini sebagai pendahuluan suatu pekerjaan yang wajib. Sedangkan Imam Asy-Syathibi mengatakan, bahwa mandhubatausunnah itu apabila ditinjau secara umum,  merupakan suatu pelayan dan pendahuluan dari yang wajib.
4). Sunnah Ghairu Mu’akkadah yaitu segala perbuatan tidak wajib kadang-kadang dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang saja ditinggalkan. Contohnya: shalat sunnah dhuha, puasa senin dan kamis, dll. Sunnah seperti ini disebut juga dengan istilah mushtahab atau nafilah.
5). Sunnah al-Zawaid atau Az-Zaidah yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasul sebagai manusia. [4] Contoh: cara tidur Nabi, cara makan, minum dll.
c.       Mubah
Yaitu kebolehan artinya boleh dikerjakan atau ditinggalkan. Mubah dapat dibagi menjadi 3 macam:
1). Dinyatakan dalam syara’ tidak berdosa untuk melakukannya
2). Tidak ada dalil yang mengharamkan
3). Dinyatakan dalam syara’ boleh memilih dilakukan atau tidak.
d.      Makruh
Lawan dari sunnah, yaitu suatu perbuatan jika dikerjakan tidak berdosa sedang jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Makruh dibedakan menjadi:
1). Makruh Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak dikenakan siksa.
2). Makruh Tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar hukukmnya tidak pasti.
3). Tarkul Aula ialah meniggalkan perbuatan-perbuatan yang amat diajurkan.[5]
e.       Haram
Sebagai lawan dari wajib, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan berdosa sedang jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Haram dibagi menjadi dua yaitu:
1). Haram Li Dzatihi yaitu perbuatan yang haram dengan sendirinya bukan karena hal-hal lain yang hukumnya haram. Contoh: memakan bangkai selain ikan dan belalang, berzina, mencuri, dll.
2). Haram Li Ghairihi yaitu perbuatan yang hukumnya haram karena berbarengan dengan perbuatan lain atau tercampuri dengan sesuatu yang madlorat bagi manusia.[6]contoh: puasa di hari raya Ied, shalat dengan baju hasil curian, dll.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa tidaka ada bedanya antara haram lidzatih dan ghoiru lidzatih, karena dari segi akibatnya sama-sama haram.[7]
Dalam penyebutan istilah yang terdapat dalam bab ini terdapat perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh, seperti untuk sifatnya perintah ada tiga istilah, yaitu ijab, wujub. Wajib, dan lainnya, ini disebabkan perbedaan sisi pandang pada persoalan tersebut. Apabila khithab (ayat) atau tuntutan yang terdapat pada alqur’an, dilihat dari sisi Allah SWT sebagai penuntut, maka tuntutan sholat dan zakat itu disebut ijab. Apabila ayat tersebut dilihat dari sisi mukallaf yang dituntut untuk melaksanakannya, maka tuntutan shoalat dan zakat itu disebut wujub. Sedangkan istilah wajib merupakan sifat dari perbuatan mukallaf yang dituntut Allah SWT, namun istilah-istilah yang terdapat dalam hukum taklifie ini semua merupakan tuntutan syar’i.
B.     Hukum Wad’ie
1.      Pengertian hukum wad’ie
Hukum wadh’i adalah hukum yang menetapkan dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah (al-mani’). Hukum ini dinamakan hukum wadh’ie karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’ie adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahih), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ada ikhtilaf atau perbedaan di kalangan para ulama tentang al-shihhah, al-buthlan atau al-fasid, al-‘azimah, dan al-rukhshah. Sebagian ulama menganggap hukum-hukum tersebut tidak termasuk dalam lingkup hukum wadh’i. Akan tetapi sebaliknya, sebagian ulama lain menganggap bahwa hukum-hukum tersebut termasuk bagian dari hukum wadh’ie.
Adapun alasan mengapa rukhshah dan ‘azimah bukan termasuk dalam hukum wadh’ie akan tetapi masuk dalam hukum taklifiee adalah karena kedua hukum tersebut mengandung kehendak atau permintaan (iqtidha`) dalam hukum ‘azimah dan kebebasan memilih (takhyir) dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa ‘azimah dan rukhshah merupakan bagian dari hukum wadh’ie dan bukan termasuk dalam hukum taklifiee mengatakan bahwa rukhshah pada hakikatnya adalah sifat yang dijadikan Syari’ sebagai sebab peringanan suatu hukum syariat, sedangkan ‘azimah adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang menjadi sebab berlakunya hukum asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain sebagainya.
Sedangkan alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlân atau al-fasid tidak termasuk dalam hukum wadh’ie akan tetapi bagian dari hukum taklifiee, yaitu karena pada hakikatnya al-shihhah adalah pembolehan dari Syari’ untuk memanfaatkan sesuatu, seperti pembolehan memanfaatkan mabi’ (barang yang dijual) oleh pihak pembeli.
Sebaliknya al-buthlan adalah keharaman memanfaatkan sesuatu, seperti larangan memanfaatkan mabi’ jika akad jual beli batal atau tidak sah.[8]
2.      Pembagian hukum wad’ie
a.       Sebab atau al-sabab
Secara etimologi (al-sabab) mempunyai arti al-hablu (tali) dan sesuatu yang menghantarkan kepada maksud atau tujuan. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
Artinya: Maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit. (QS. Al-Hajj: 15)
Artinya: Dan kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka iapun menempuh suatu jalan. (QS. Al-Kahfi: 84)
Adapun secara terminologi al-sabab adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syâri’ untuk mengetahui hukum syariat tertentu, artinya hukum syariat tersebut akan muncul jika al-sabab tersebut ada, sebaliknya hukum syariat akan hilang dengan tidak adanya al-sabab tersebut. Seperti firman Allah Swt. dalam surat al-Isra`:
Artinya: Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (QS. Al-Isra`: 78)
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur. Allah Swt. juga berfirman dalam surat al-Baqarah:  
Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa. (QS. Al-Baqarah: 185)
Terkandung dalam ayat tersebut bahwa melihat atau menyaksikan bulan ramadhan menjadi al-sabab kewajiban untuk berpuasa.[9]
Pembagian sebab atau alsabab:
1). Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a).  Al-Sabab yang menyebabkan adanya hukum taklîfîe. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syâri’ sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah Swt. berfirman:
Artinya: Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (QS. Al-Isra`: 78)
b). Al-Sabab yang menjadi sebab penetapan hak milik dan kehalalan suatu barang, atau sebaliknya menghilangkan keduanya. Seperti akad jual beli, nikah, thalaq, dan lain-lain.
2). Dilihat dari segi ada dan tidaknya kemampuan seorang mukallaf dalam melakukannya, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a). Sesuatu yang ada dalam batas kamampuan mukallaf untuk melakukannya. Seperti berpergian (safar) yang menjadi al-sabab diperbolehkannya berbuka puasa, pembunuhan yang disengaja yang menjadi al-sabab adanya kewajiban qishâsh, dan lain-lain.
b). Sesuatu yang berada di luar batas kemampuan mukallaf. Seperti terbenamnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat maghrib.[10]
b.      Syarat atau al-syarat
Secara etimologi al-syarthu dapat berarti al-‘alamah al-lazimah (tanda yang lazim), Atau ilzamu al-syai` wa iltizamuhu (melazimkan sesuatu dan mewajibkannya). Bentuk jamaknya adalah al-syuruth. Sedangkan al-syarathu dengan memberi fathah pada huruf ra` berarti tanda (al-‘alamah).
Adapun secara terminologi al-syarthu oleh para ulama ushûl diartikan sebagai sesuatu yang kemunculan suatu hukum syariat bergantung padanya, yang ia berada di luar hakikat sesuatu tersebut. Dan adanya al-syarthu tidak mengharuskan adanya hukum syariat, akan tetapi ketidakberadaannya mengharuskan hilangnya hukum syariat tersebut. Dalam definisi lain disebutkan bahwa al-syarthu adalah sesuatu yang sah dan tidaknya suatu hukum syariat tergantung padanya, dan sesuatu tersebut di luar dari pada hakikat. Sebagai contoh wudhu dalam salat. Keberadaan wudhu tidak mengharuskan adanya salat, akan tetapi ketidakberadaannya dapat menghilangkan sahnya salat, dan wudhu sendiri bukan bagian dari salat.
1). Dilihat dari segi hubungannya dengan al-sabab dan al-musabbab, al-syarthu dibagi menjadi dua macam:
a). Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-sabab, artinya al-syarthu menguatkan akan makna sebab akibat (al-sababiyyah) yang terdapat dalam hukum tersebut. Sebagai contoh, penjagaan harta benda adalah syarat untuk melaksanakan hadd dalam pencurian.
b). Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-musabbab, artinya menguatkan hakikat al-musabbab atau rukunnya. Sebagai contoh, menghadap kiblat menjadi syarat sahnya salat.
2).  Dilihat dari segi sumber yang menetapkan, al-syarthu dibagi menjadi dua macam:
a). Al-Syarthu al-syar’ie, yaitu syarat yang telah ditetapkan oleh Syari’. Seperti syarat-syarat yang terdapat dalam ibadah, muamalat, jinayah, dan lain-lain.
b). Al-Syarthu al-ja’lie, yaitu syarat yang dibuat dan ditetapkan oleh seorang mukallaf. Seperti syarat terjadinya thalâq yang ditetapkan seorang suami terhadap istrinya. Seorang mukallaf tidak bisa seenaknya dalam membuat dan menetapkan sebuah al-syarthu al-ja’lie, karena telah ada batasan-batasan syariat yang telah dijelaskan. Sebagai contoh, seorang mukallaf tidak diperbolehkan menetapkan syarat yang dapat menghilangkan hakikat hukum syariat, karena pada esensinya syarat berperan sebagai pelengkap al-sabab yang telah memunculkan hukum syariat tersebut.[11]
c.       Mani’atau al-mani’(penghalang)
Definisi al-mani’ adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syari’ sebagai sebab hilangnya suatu hukum syariat atau rusaknya suatu al-sabab.
Al-Mani’ terbagi menjadi dua macam:
1). Mani’ al-hukmi, yaitu al-mâni’ yang dapat menghilangkan suatu hukum syariat. Seperti tidak berlakunya qishâsh bagi seorang ayah yang telah membunuh anaknya.
2). Mani’ al-sabab, yaitu al-mani’ yang dapat menghilangkan al-sabab yang telah memunculkan suatu hukum syariat. Seperti mengurangi nisab dalam zakat yang menjadi al-mani’ dari kewajiban zakat.
d.      Al-Shihhah dan al-Buthlan atau Bathil
Definisi al-Shihhah dan al-Buthlan atau Bathil
Secara etimologi al-shihhah berarti sehat, antonim dari al-saqam yang berarti sakit. Adapun secara terminologi al-shihhah adalah sesuatu hukum yang sesuai dengan tuntunan syara’, yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan shalat dluhur setelah tergelincirnya matahari (sebab) dan telah bewudluu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dll). Dalm contoh ini pekerjaan yang dilaksanakannya hukum. Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak sah, sekalipun meni’nya tidak ada.
Sedangkan al-fasid dan al-buthlan atau bathil menurut jumhur ulama adalah sinonim, yaitu mempunyai makna yang sama. Oleh karena itu setiap ibadah, akad muamalat, dan lain sebagainya yang sebagian syarat dan rukunnya tidak terpenuhi disebut al-fasid atau al-buthlan. Sebagai contoh, akad jual beli yang dilakukan oleh orang gila, salat tanpa wudhu, dan lain-lain.[12]
e.       Al-‘Azimah dan al-Rukhshah
1.      ‘Azimah
Secara etimologi ‘azimah berarti al-iradah al-muakkidah atau al-qashdu al-muakkid, yaitu keinginan yang kuat. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur`an:

Artinya: maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. (QS. Thaha: 115)
Adapun secara terminologi ‘azimah berarti hukum syariat bagi sorang mukallaf yang berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Seperti kewajiban salat, zakat, puasa, dan lain-lain.
2.      Rukhshah
Secara etimologi rukhshah berarti al-suhûlah dan al-yusru, atau al-tashil dan al-taisir yang berarti memudahkan atau meringankan. Adapun secara terminologi rukhshah adalah hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Syari’ sebagai peringanan beban bagi seorang mukallaf dalam kondisi tertentu, atau hukum syariat yang ditetapkan karena adanya halangan atau masyaqqah dalam keadaan tertentu.[13]
Pembagian rukhshah:
a). Diperbolehka sesuatu yang haram pada waktu darurat atau terpaksa. Seperti makan bangkai atau makanan yang diharamkan syariat ketika dalam keadaan sangat lapar, tidak ada makanan lain, dan takut akan kematian.
b). Diperbolehkan meninggalkan kewajiban. Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir atau seorang yang sedang sakit di bulan ramadhan dikarenakan adanya masyaqqah.
c). Diperbolehkan suatu akad muamalat yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti akad jual beli pemesanan. Pada dasarnya akad jual beli pemesanan tidak diperbolehkan, karena barang yang dibeli tidak ada ketika akad berlangsung. Syâri’ telah membolehkannya karena adanya kebutuhan manusia dan telah menjadi hukum kebiasaan yang telah berlaku.[14]

C.    Mahkum Fih atau Mahkum Bih (objek hukum)
Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’. Dan ada pendapat lain, Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.
Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.[15]
Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum: Contoh:
1.      Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43
  Artinya:”Dirikanlah shalat”
Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.
2.      Firman Alloh dalam surat al an’am:151
   Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3.      Firman Alloh dalam surat Al-maidah: 6.
Artinya: Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku-siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat. Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.
Syarat-syarat mahkum fih
a.       Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya jelas dan dapat dilaksanakan.
b.      Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, supaya mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakannya karena Allah semata.
c.       Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.dengan catatan:
1) Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan musthil untuk dikerjakan atau ditinggalkan baik berdasarkan zatnya ataupun tidak.
2) Tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3) Tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
4) Tercapainya syarat taklif tersebut.[16]
Disamping syarat-syarat yang penting diatas bercabanglah berbagai masalah yang lain sebagaimana berikut:
a.       Sanggup mengerjakan, tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf.
b.      Pekerjaan yang tidak akan terjadi, karena telah dijelaskan oleh Allah bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman
c.       Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan, yaitu yang kesukarannya luar biasa, dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan; dan yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan atau terasa lebih berat daripada yang biasa.
d.      Pekerjaan-pekerjaan yang diijinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa[17].
Macam-macam mahkum fih:
Dilihat dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi empat macam:
1.    Semata mata hak Alloh,yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini.hak ini semata mata hak Alloh.dalam hal ini ada delapan macam:
a).   ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b). ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti:zakat fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah
c). Bantuan atau santunan yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan dari bumi
d). Biaya atau santunan yang mengandung makna hukuman,seperti: khoroj (pajak bumi) yang di anggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e). hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang berbuat zina
f). hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris,karena membunuh pemilik harta tersebut.
g). hukuman yang mengandung makna ibadah seperti:kafarat orang yang melakukan senggama disiang hari pada bulan ramadhan
h). hak hak yang harus di bayarkan,seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta tependam dan harta rampasan.
2.    Hak hamba yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang yang di rusak.
3.    Kompromi antara hak Alloh dengan hak hamba,tetapi  hak alloh didalamnya lebih dominan,seperti hukuman untuk tindak pidana.
4.    Kompromi antara hak Alloh dan hak hamba,tetapi hak hamba lebih dominan,seperti masalah qishos.[18]
f.       Al masyaqqoh
Perlu diketahui bahwa salah satu syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu dalam melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. untuk itu akan kami jelaskan yang dimaksud adalah masyaqqoh (halangan)  serta pembagiannya
Masyaqqoh itu ada dua macam yaitu:
1.      Masyaqqoh mu’tadah
Yaitu kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif,karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan.contohnya:Diwajibkannya adanya sholat ini buakan bermaksud agar badan capek atau bagaimana,akan tetapi untuk melatih dirinya diantaranya bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar
2.      Masyaqqoh goiru mu’tadah
Yaitu suatu kesulitanataukesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya bila di paksakan.Alloh tidak tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan yang menyebabkan kesusahan.seperti puasa yang terus menerus sehingga mewajibkan selalu bangun malam untuk sahur.
Artinya:Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu(al baqoroh 185)[19]
D.    Mahkum Alaih(subjek hukum)
Yang dimaksud dengan Mahkum Alaih adalah mukallaf yang menjadi obyek tuntunan hukum syara’. Menurut ulama’ ushul fiqh telah sepakat bahwa mahkum Alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah, yang disebut mukallaf. Sedangkan keterangan lain menyebutkan bahwa Mahkum Alaih ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasakan tuntutan Allah itu. Jadi, secara singkat dapat disimpulkan bahwa Mahkum Alaih adalah orang mukallaf yang perbuatannya menjadikannya tempat berlakunya hukum Allah.[20]
Syarat-syarat Mahkum Alaih
1.      Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain
2.      Orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya (Koto, 2006: 157-158).[21]
KESIMPULAN
Setelah apa yang telah kami bahas diatas, menghasilkan kesimpulan yang menghimpun secara siingkat dari permasalahan diatas, dintaranya hukum taklifi merupakan suatu redaksi hukumyang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sasuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkannya. Bentuk-bentuk dari redaksi hukum ini adalah yang pertama, wajib atau ijab, sunnah atau nadb, ibahah atau boleh, makruh atau karohah dan tahrim atau haram. Yang kedua, meliputi iftiradh, ijab, nadb, ibahah, karohah tanzhiliyah, karohan tahrimiyah, dan tahrim atau haram. Dalam pembahasan ini terdapat perbedaan diantara para ulama usul, dikarenakan perbedaan pemahaman diantara mereka pada unsur-unsur hukum-hukum ini yang berupa dalil.
Sedangkan hukum wad’ie mempunyai kesimpulan, suatu redaksi hukum yang menuntu untuk menjadikan sesuatu sebagia sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain, atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahih), rusak atau batal (fasid), ‘azimah (keinginan yang kuat) atau rukhshah (kemudahan).
Obejek hukum atau mahkum fih, mempunyai pengeritan yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal seperti yang di contohkan dalam surat Al-Maidah ayat 6, Al-An’am ayat 151 dan surat Al-Baqarah ayat 43. Dalam mahkum fih ini ada syarat yang mendukung keshahehannya objek, yang berkesimpulan orang yang sudah mengerti dan sehat jasmani dan rohani, karena menyangkut hak Allah dan hambanya.
Subjek hukum atau mahkum alaih mempunyai pengertian yaitu individu atau orang mukallaf yang perbuatannya menjadikannya tempat berlakunya hukum Allah. Dengan syarat Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain, dan orang tersebut ahli bagi apa yang ditaklifkan kepadanya, dasar dari hukum ini menurut kebanyakan ulam adalah terdapat pada akal dan pemahamannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abddul Ghofur, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta.
Al-Zahrah, Muhammad Abu, 2006, Ushul al-Fiqhi,Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi.
Firdaus. 2004. Ushul fiqh, Zikrul hakim: Jakarta timur.
Hakim,  Abdul Hamid, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra.
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul fiqh. Logos wacana ilmu Persada: Jakarta.
Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press: Jember.
Syafi’I,Rahmat, 1999, Ilmu Usul Fiqh, Pustaka Setya: Bandung.
Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya




[1] Rahmat Syafi’I, 1999, Ilmu Usul Fiqh, Pustaka Setya, hal, 296.
[2] Ibid: 305.
[3] Abddul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, Hal. 28.
[4] Ibid: 28.
[5] Ibid: 30.
[6] Ibid: 29.
[7] Ibid: 308.
[8] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah fi Ushul al-Fiqhi wa al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra, hal,198.
[9] Ibid:200.
[10] Ibid: 201-202.
[11] Muhammad Abu al-Zahrah, 2006, Ushul al-Fiqhi,Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi,hal.387.
[12] Ibid:388.
[13] Miftachr.blog.uns.ac.id
[14] Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press. Jember, hal:119.
[15] Ibid: 209.
[16] Ibid:320.
[17] Ibid:121-123
[18] Ibid:212.
[19]Ibid: 390.
[21] Ibid:392.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar