Kiai
Haji Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, 31 Maret 1888 – meninggal 29
Desember 1971 pada umur 83 tahun) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama.
KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, da’wah
beliau dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian
umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama.
Pendidikan
Beliau
juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di
lingkungan NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren
Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang,
belajar pada Syaikhona R. Muhammad Kholil Bangkalan Madura, dan Pesantren
Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari.
Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Makkah untuk berguru kepada Syaikh
Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa.
Masa
pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar banyak dihabiskan
di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali
pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh dilingkungan
pondok pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan moral pada
tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti
kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan
tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan
berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul. Beliau dididik ayahnya
sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali
dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Wahab Hasbullah
membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran dengan tartil
dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang
paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: Kitab
Safinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al
Majmu’. Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits,
dan Ulumul Hadits.
Diantara
pesantren yang pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:
1. Pesantren Langitan Tuban.
2. Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3. Pesantren Cempaka.
4. Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5. Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura
dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6. Pesantren Branggahan, Kediri.
7. Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah
asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.
Khusus
di Pesantren Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang
lebih selama 4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang
dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan
kiai dan pesantren tersebut (Mashyuri, 2008:83).
Pelopor
Kebebasan Berpikir
KH.
A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan Umat Islam
Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab Hasbullah merupakan
seorang ulama besar Indonesia. Beliau merupakan seorang ulama yang menekankan
pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan
berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab Hasbullah membentuk kelompok diskusi
Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1941.
Mula-mula
kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat
prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang
dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat
kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda.
Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk
memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul
Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang
komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus
jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat
rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka
jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda
yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan
dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Abdul Wahab Hasbullah
bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul
Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada
1916. Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan
dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya.
Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar
Jombang), Kyai Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai
Ma’shum (Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang). Kebebasan berpikir dan
berpendapat yang dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul
Afkar merupakan warisan terpenting beliau kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai
Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan
berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang
kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh
spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip
kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan
problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.
Pernah
suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa tentang Qurban
yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri Syansuri. “Bahwa menurut
hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya untuk tujuh orang saja”,
terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan yang bertanya tadi berharap anaknya
yang masih kecil bisa terakomodir juga. Tentu saja jawaban Kyai Bisri tidak
memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan tidak bisa ikut menikmati
pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan solusi yang logis bagi Si
Fulan tadi. “Untuk anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk dijadikan
lompatan ke punggung sapi”, seru kyai Wahab.
Dari
sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas bahwa seni
berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan luwes.
Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku kulluh, laa yutraku
julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan semuanya janganlah ditinggal sama
sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan dari Fiqih
sendiri.
Pemikiran
Kiai Wahab Hasbullah
Jika
disejajarkan dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), maka Kiai Wahab Hasbullah
memiliki banyak persamaan yang didasarkan pada masanya masing-masing. Keduanya
sama-sama tokoh yang sangat kontraversial di kalangan ulama dan politisi.
Abdurrahman Wahid dikenal sebagai ulama dan cendekiawan yang sikap dan
maneuver-manuver politik yang dilakukannya sering menimbulkan pertanyaan
tentang integritas dan konsistensi idealisme dan cita-cita perjuangannya.
Kemudian kenapa Kiai Wahab Hasbullah juga begitu kontraversial?.
Diantara
beberapa hal yang menjadikan Kiai Wahab menjadi ulama sekaligus politisi dan
cendekiawan yang kontraversial dikalangan umat Islam Indonesia adalah ketika
meningginya konflik antara kaum modernis dan reformis dengan kaum
tradisionalis, beliau tampil sebagai “guardian” tradisionalisme dengan jalan
membentuk Taswirul Afkar pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan
terhadap permasalahan yang diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat
itu.
§ Bidang Pendidikan
Menurut
beliau pendidikan tidak harus dilakukan di pesantren dan mendidik anak harus
tepat pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan masyarakat, namun bukan berarti
pendidikan pesantren dilupakan. Oleh karenanya selain ia melakukan pendidikan
di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, juga melakukan pendidikan di
luar pesantren yang ditujukan untuk kalangan umum dan terpelajar dengan
mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar. Melalui Nahdlatun Wathan
beliau juga telah berhasil mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah,
antara lain:
1. Sekolah/Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo
2. Sekolah/Madrasah Far’oel Wathan di Gresik
3. Sekolah/Madrasah Hidayatoel Wathan di
Jombang, dan
4. Sekolah/Madrasah
Khitaboel Wathan di Surabaya (Mashyuri, 2008:86-87).
Sumber:
http://lutfisayonk.blogspot.com/2013/03/biografi-kh-abdul-wahab-hasbullah.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Wahab_Hasbullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar