Jumat, 08 April 2011

sejarah hukum fiqh

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fese kemunduran hukum islam berlangsung lama, yaitu dari dari pertengahan abad ke-4 Hijriyah sampai akhir abad ke-13 Hijriyah, pada fase tersebut para ulama sudah lemah kemauannya untuk mencapai tingkatan mujjtahid muthlak dan menggali hukum-hukum islam langsung dari sumber-sumbernyayang pokok, yaitu Qur’an dan Hadist (sunnah), atau mencari hukum sesuatu persoalan dengan melalui salah satu dalil syara’. Pada masa itu para ulam pemikiranya hanya di sekitar penjelasan dari kitab-kitab para mujtahid sebelumnya, seperti tergambar dalam karya-karya mereka hanya sebatas pada pensyarahan, ta’wil dan hasyiyah. Timbulnya masa ini dipengaruhi adanya kemajuan di masa puncak kejayaan Islam pada bidang keilmuan, sehingga sudah tersedia banyak keilmuan-keilmuan yang telah dibukukan oleh para mujtahid yang dulu.
Fase kejumudan telah berlalu dan kemudian datanglah masa selanjutnya yaitu Masa paca kejumudan, pada masa ini adalah masa dimana umat muslim khusus nya negeri muslim mulai sadar akan masa yang telah berlalu adalah masa yang penuh dengan konflik di ranah umat islam sendiri. Lebih-lebih para fuqoha. Pada masa ini para ulama mulai memunculkan ide-ide baru tentang kemajuan di umat muslim, dipengaruhi atas kemjuan di barat yang semakin modern.
Salah satu factor yang menuntut adanya kemjuan di umat muslim adalah bidang tasri’, masarakat muslim yang semakin lama semakin komplek masalah yang dihadapi, hal ini menuntut adanya pembaharuan dibidang tasryi’. Pembaharua-pembaharuan itu yang akan kami bahas dalam makalah ini, beserta masalah-maslah yang berhubungan dengannya.
B. Rumusan Masalah
Diantara masalah-masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah:
1.      Aktifitas apakah yang di bahas oleh para ulama (fuqaha) pada masa pasca kejumudan?
2.      Apa tujuan dari pembaruan fiqh?
3.      Apa yang mendasari adanya kodifikasi hukum fiqh?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah supaya kita sebagai generasi penerus mampu mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah Islam, dan mengetahui pelaku-pelaku sejarah, dalam hal ini adalah para ulama yang sangat cinta dengan ilmu, juga mengetahui bahwa Islam pernah mengalami masa keemasan. 

BAB II
PEMBAHASAN
Fase kebangkitan setelah masa kejumudan di bidang keilmuan didunia islam adalah fase dimana para ilmuan khususnya fuqoha mereaktualisasikan tradisi-tradisi para pendahulunya, yaitu menghadirkan kembali fiqh ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, memberikan saham dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapuskan taqlid, dan tidak terpaku dengan madzhab atau kitab tertentu. Fase ini dimulai dari akhir abad ketiga belas hijriyah sampai pada hari ini.
Kebanggkitan dan kemunduran hukum islam sangat erat hubungannya dengan kebangkitan kaum muslimin dan kemundurannya dalam lapangan politik. Usaha-usaha kearah kebangkitan tersebut sudah dimulai sejak abad sebelumnya, akan tetapi masih terbatas sifatnya dan terjadi dalam lingkungan yang terbatas pula. Baru setelah kesadaran nasional meliputi kaum muslimin dan mereka sudah menginsafi kedudukan dirinya sebagai golongan yang mundur, maka barulah memulai pembangunan universal yang meliputi seluruh kaum muslimin dan negeri-negeri Islam.
A. Masa Pembaharuan (Kebangkitan) Ilmu Fiqh
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini, yaitu:
Pertama, Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu.
Kedua, Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi atau perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian hukum di bidang perekonomian dan perdagangan disebabkan karena meluasnya hubungan ekonomi dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Untuk itu, penguasaan terhadap hak milik yang ada di dalam negeri juga diatur, seperti pengadministrasian tanah-tanah rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan yang menyangkut pemilikan tanah, serta penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara berperkara di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan oleh pengkodifikasian hukum perdata di bidang perekonomian dan perdagangan ini adalah semakin jumudnya fiqh di tangan para fuqaha Hanafi yang datang belakangan (muta'akhkhirin) serta terhentinya upaya pembaruan hukum dan bahkan upaya pen-tarjih-an hukum.
Ketiga, Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi 'i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Sauri. Langkah yang ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh negara-negara Islam yang tidak tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani.
Indikasi kembangkitan kembali fiqh pada zaman ini dapat dilihat dari dua aspek; petama, pembahasan fiqh islam, kedua, kodifikasi fiqh islam.
       A.1. Pembahasan Fiqh Islam
Pada zaman ini para ulama memberikan perhatian yang sangat besar terhadap fiqh islam, baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji sehingga fiqh islam bisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan para ulama, menjauhi metode yang rumit dan menyusahkan, menggunakan konsep ilmiah dengan kajian yang mendalam dan terfokus.
Indikasi kebengkitan fiqh islam pada zaman ini dari system kajian dan penulisannya adalah:
A.1.1). Para ulama memberikan perhatian khusus terhadap kajian mazhab-mazhab utama dan pendapat-pendapat fiqhiyyah yang sudah diakui dengan tetap mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab yang lain.
            Kebangkitan hukum islam pada masa modern banyak bergantung pada cara mempelajarinya, yaitu sistim perbandingan, yakni mempelajari hukum-hukum syara’ dengan bebagai pendapat tentang satu persoalan dan alasannya masing-masing, serta aturan-aturan dasar yang menjadi ppegangannya. Kemudian pendapat-pendapat tersebut diperbandingkan satu sama lainnya, untuk dipilih pendapat mana yang lebih benar dan dipebandingkan pula dengan hukum positif. 
A.1.2). Para ulama memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh tematik. Pembahasan fiqh pada periode yang lalu bersifat ringkas, lafal yang penuh symbol dan rumus yang memerlukan waktu banyak untuk memahaminya. Pada zaman ini, kajian sudah beralih pokok pada pokok masalah berkat kajian terhadap kitab-kitab fiqh klasik yang tidak memuat rumus dan kejumudan selain karena jasa para penulis mutakhir yang menggunakan metodologi ilmiah dalam penulisan mereka.
A.1.3). Para peneliti fiqh di zaman ini memberikan perhatian khusus  dengan bentuk kajian fiqh komparasi. Terkadang antara sesama mazhab fiqh islam dalam satu masalah tertentu, dan terkadang antara mazhab islam dengan undang-undang konvensional dengan tetap menggunakan kekuatan dalail sebagai kata akhirnya. Metode ini memiliki kelebihan, yaitu; memunculkan teori-teori umum dalam fiqh islam dan teori-teori baru seperti teori akad, kepemilikan, harta, selain itu para peneliti fiqh islam juga berhasil memunculkan mutiara makna dan rahasia yang tersimpan dalam perundang-undangan islam. Hasilnya, fiqh islam dapat lahir dengan tampilan yang menarik, detail, komprehensif, dan mampu mengimbagi segala permasalahan yang muncul.
Akan tetapi, walaupun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi'i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil. Metode yang menggabungkan dan mengkombinasikan antara kedua pendekatan.
Metode ini juga sering disebut dengan tariqah al-jam’an. Ciri ulama mazhab ini adalah dengan sikapnya yang rasional dan juga kadang tradisional. Diantara ulama-ulama yang mempunyai ide ini adalah sebagai berikut: Mudhafaruddin Ahmad bin ‘Aliy As Sya’atiy Al Baghdadiy (wafat pada tahun 694 Hijriyah) dengan menulis kitab Badi’un Nidham yang merupakan paduan kitab yang disusun oleh Al Bazdawiy dengan kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam yang ditulis oleh Al Amidiy.
A.1.4). Didirikannya lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh. Di berabagai negara islam pada umumnya mendirikan lembaga-lembaga kajian keilmuan dan dan menerbitkan beberapa ensiklopedia fiqh.
Berikut ini adalah beberapa contoh kreativitas di bidang pendirian lembaga keilmuan:
 a. Lembaga kajian islam di Al-Azhar, didirikan di Mesir pada tahun 1961 M yang terdiri dari para ulama besar dari semua negeri Islam yang sudah diakuui kapasitas ilmu keislamannya dalam bidang perundang undangan dan social. Lembaga ini membahas tentang permasalahan yang dihadapi oleh negara-negara Islam dan menawarkan solusi Islam terhadap masalah yang muncul, menyyebarkan warisan keilmuan Islam sehingga mudah untuk dipahami .orang banyak. Pertemuan rutin tahunanpun sering dilakukan dengan mengundang para ulama Islam untuk membicarakan masalah yang dihadapi atau teme-teme tertentu yang perlu untuk diputuskan.
b. Kantor Pusat Urusan Islam, dibawah kordinasi kementrian waqaf Mesir, yang bertugas menyebarkan buku-buku warisan ulama dahulu, dan beberapa hasil karya ilmiah para dewan pakar dalam bidang ilmu fiqh dan ilmu-ilmu lain, yang bisa berkhidmat untuk Islam, mempermudah jalan bagi para pencari petunjuk.
c. Ensiklopedi Fiqh di Kuwait, yang bertujuan agar negara Kuwait mempunyai saham dalam membangun  kemajuan fiqh Islam bersama negara-negara yang lain. Ada beberapa ulama yang ikut andil dalam dalam menjakankan tujuuan iniyang sudah dikenal memiliki kemampuan dan kapasitas ilmu yang memadai. Lembaga ini berhasil menyusun kajian fiqh secara tematik berdasarkan huruf abjad dengan gaya bahasa yang sangat mudah untuk dipahami.
d. Ensiklopedia Fiqh di Mesir, dibawah koordinasi Kantor Pusat Urusan Agama. Dalm ensiklopedia ini para penulis membubuhkan pendapat para fuqoha’ dalam satu masalah secara amanah dan rinci juga tidak terbatas pada pendapat empat imam mazhab, namun mereka juga menyebutkan pendapat empat mazdhab yang lain tanpa terbawa rasa fanatik mazhab. Diantara mazhab itu adalah Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyyah, Zaidiyyah,Imamiyah Itsna ‘Asyariyyah, dan Ibadhiyyah.
Para Ulama dalam lembaga ini menghimpun semua masalah dengan metode yang sama, yaitu menukil pendapat mazhab dengan gaya bahasa yang lugas, ringkas tanpa men-tarjih pendapat tertentu, dan biyasanya kajian berkisar tentang masalah-masalah fiqh sesuai dengan huruf abjad.
B. Tujuan Dilakukannya Pembaharuan Fiqh Islam
Pembaruan hukum Islam dimaksuudkan agar ajaran islam tetap aa dan di terima oleh masyarakat modern. Untuk ,mengembalikan akktualitas hukum Islam atau untuk menjembatani ajaran teoretis dalam kitab-kitab fiqh hasil pemikiran mujtahid dengan kebutuhan masa kini. Itu semua dapat ditempuh dengan beberapa cara;
B.1. Memberikan kebijakan administrasi
Hal ini sudah dilakukan di mesir menjelang kehadiran undang-undang perkawinan. Dalam kitab fiqh yang berlaku di semua mazhab tidak ditemukan pencatatan perkawinan. Pada masa mujtahid hanya menghasilkan fiqhnya, hal tersebut dirasakan tidak diperlukan dan tidak bermanfaat. Pada masa kini pencatatan pekawinan sangat dibutuhkan untuk mengamankan perkawinan itu sendiri.
B.2. Membuat aturan tambahan
Tanpa mengubah dan mengurangi materi fiqh yang sudah ada, dibuat aturan lain yang dapat mengatasi masalah social, seperti wasiyyah wajibah yaitu wasiat-wasiat yang diberikan kepada cucu yang tidak menerima waris karena bapaknya telah meninggal lebih dahulu, seedangkan sodara bapaknya masih ada.
B.3. Taltiq (meramu)
Hasil ijtihad tertentu diramu menjadi suatu bentuk baru, seperti Undang-Undang perkawinan Turki yang menggabungkan mazhab Hanafi yang mayoritas dengan mazhab maliiki yang minoritas. Undang-Undang ini hanya bertahan menjelang dibelakukannya Undang-Undang swiss yang hingga sekarang masih berlaku di Turki.
B.4. Melakukan reinterpretasi dan reformulasi
Dalil fiqh yang tidak actual lagi dikaji ulang, terutama yang menyangkut hubungan dalil dengan rumusan hukum. Dalil yang pernah diinterpretasikan oleh mujtahid dahulu diinterpretasikan sesuai dengan jiwa hukum dan tuntutan masyarakat pada saat itu. Formulasibaru berdasarkan interpretasi baru, hal itu ada yang dituangkan dalam Undang-Undang dan ada pula yang bebentuk fatwa. Hal ini pada fiqh munakahat dapat dilihat dalam masalah monogami, bigami, poligami, yang dulunya mudah dan tidak bertanggung jawab, mulai dibatasi dan dipersulit, bahkan ditentukan untuk dilakukan dipengadilan.
C. Pengkodifikasian Hukum Fiqh
Maksud dari kodifikasi (taqnin) adalah adalah upaya mengumpulkan beberapa masalah fiqh dalam satu bab dalam bbentuk butiran bernomor. Dan jika ada masalah maka setiap masalah akan dirujuk kepada materi yang  sudah disusun dan pendapat ini akan menjadi kata putus dalam menyelesaikan perselisihan. Pengkodifikasian fiqh  ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali.
Pada hal ini seluruh hukum tersebut disandarkan pada dua kodifikasi yaitu kodifikasi pada jaman Rasulullah dan jaman Sahabat. Pada masa ini juga kodifikasi hukum mulai dirintis berbarengan dengan kodifikasi as sunnah. lalu hukum tersebut berubah menjadi ilmu pengetahuan setelah terpenuhi semua unsur-unsurnya seperti dalil, illat dan kaidah. Dan akhirnya para pakar dibidang ini dikemudian hari disebut fuqoha dan ilmunya disebut ilmu fiqh.
Buku fiqh yang pertama dihimpun adalah kitab Al Muwatha' karya Imam Malik bin Anas, selanjutnya menyusul beberapa kitab fiqh karya imam Abu Yusuf murid dari Imam Abu Hanifah. Dan kemudian Kitab Al Um karya Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi'i yang dijadikan rujukan fiqh madhab Syafi'i.
C.1. Tujuan Pengkodifikasian
Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan seebagai berikut:
Pertama, menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim memberi keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan meteri undang-undang tertentu, dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontradiktif.
Kedua, memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fikih dengan susunan yang sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.
C.2. Permulaan Kodifikasi
Permulaan kodifikasi fiqh sebagai undang-undang bukan sesuatu yang baru terjadi pada zaman ini. Upaya tersebut sudah muncul sejak awal abad kedua hijriyah ketika ibnu muqaffa’ menulis surat kkepada Abu Ja’far Al-Mansur agar undang-undang civil segera di ambil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dan ketika tidak ada nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat. Ketika beliau melihat banyak terjadi perbedaan pendapat dalam satu masalah, ia berkata,”Diantara perkara yang harus diperhatikan oleh Amirul Mukminin dari urusan dua orang Mesir dan yang lainnya dari setiap kota dan pelosok wilayah adalah terjadinya perselisihan pendapat yang sudah memuncak, jika saja Amirul Mukminin dapat memerintahkan agar semua perbedaan ini bisa dihilangkan, memberikan apa yang menjadi hajat setiap kaum dari sunnah dan qiyas dengan cara menulis sebuah kompilasi undang-undang. Hal tersebut bertujuan menyatukan semua pendapat yang bisa saja salah atau benar dengan satu pendapat yang pasti benar.”
Usulan Ibnu Muqaffa’ ini tidak mendapat sambutan pada saat itu karena para fuqaha’ enggan untuk memikul beban taqlid, sedangkan mereka sendiri sudah memberikan peringatan kepada murid-murid mereka agar agar menjauhi fanatisme Mazhab. Seperti halnya usaha yang sama dilakukan oleh Imam Malik ketika ia melaksanakan haji pada tahun 148 H dan diminta untuk menyeru masyarakat mengamalkan mazhabnya, dan juga khalifah menyuruhnya untuk menyebarkan kitab karya fenomenal beliau yaitu Al-muwatha untuk disebar keseluruhnegeri islam supaya dijadikan rujukan dalam peradilan negara dan pemberian fatwa, akan tetapi Imam Malik menolak dengan alasan bahwa diriinya tidak lebih berhak daripada fuqaha’-fuqaha’ terkemuka sebelumnya dank arena itu maka pendapatnya tidak bisa dipaksakan kepada orang banyak.
C.3. Titik tolak kodifikasi
Pembicaraan tentang hukum islam terdapat diberbagai kitab fiqh dengan segala macam mazhabnya. Sering-sering pembicaraan suatu persoalan tidak berada ditempatnya, melainkan disebutkan sepintas lalu di tempat lain. Besar kecilnya kitab-kitab itu tidak sama, dan oleh karena itu maka pencakupan pembicaraannya terhadap berbagai ketentuan hukum dan pendapat-pendapat mazhab juga tidak sama. Gaya bahasa dan sistematika kitab-kitab tersebut juga berbeda-beda, bahkan kadang-kadang sesuatu kitab menyebutkan suatu ketentuan yang tidak terdapat pada kitab lain atau yang berlawanan dengan yang disebutkan di lain kitab. Oleh karena itu tidak semua kitab-kitab fiqh dan tidak semua pendapat para fuqaha’ bernilai sama, melainkan berbeda-beda kedudukannya menurut perbedaan nilai ilmiyah dari pengarangnya  atau dari fuqaha’-fuqaha’ yang mempunyai pendapat.
Jadi untuk meneliti tentang ketentuan-ketentuan hukum fiqh dari kitab-kitab tersebut dan akan mengeluarkannya dari tempatnya yang sebenarnya atau bukan dari tempatnya, serta untuk membedakan antara pendapat yang kuat dengan pendapat yang tidak kuat, banyak memerlukan kepada kemampuan dan pengenalan yang banyak terhadap kitab-kitab fiqh, dan cara seperti ini sukar diperoleh oleh kebanyakan orang.
Upaya dan pemikiran untuk melahirkan sebuah kodifikasi terhadap fiqh Islam betul-betul dapat terwujud di Turki ketika muncul majalah Majallah Al-Ahkam Al-‘Adliyah (Semacam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) pada masa Dinasti Ustmaniyah yang berangkat dari keinginan imperium ini untuk mengacukan seluruh undang-undang sipil yang berlaku bagi umat islam di bawah pemerintahannya pada mazhab Imam Abu Hanifah sebagai mazhab resmi negara. Kitab kodifikasi hukum Islam ini di susun oleh para  fuqaha’ kondang dibawah pimpinan Ahmad Jaudat Basya, Direktur Diwan Al-Ahkam Al-‘Adliyah.
Lembaga ini mulai bekerja pada tahun 1286 H dan terus bekerja sampai tahun 1292 H. setelah bekerja selama tujuh tahun maka lahirlah sebuah karya agung yang di beri nama Majallah Al-Ahkam Al-‘Adliyah (yang kemudian terkenal dengan istilah Al-Majallah atau Majelle). Untuk kemudian di terapkan ketentuan-ketentuan di pengadilan-pengadilan negeri, dan berlaku untuk negeri Turki dan negeri-negeri lain yang tunduk kepada kekuasaannya, seperti libanon dan syiria. Akan tetapi kitab undang-undang ini tidak berlaku untuk negeri Mesir sebab ia sudah melepaskan diri dari kekusaan kerajaan Turki Usmaniyah. Kebijakan ini di formalisasikan dengan adanya surat perintah dari Sultan tepatnya pada bulan Sa’ban 1292 H, untuk diberlakukan di Turki maupun di daerah kekuasaannya.
C.4. Kitab Al-Majallah Al-Ahkam Al-‘Adliyah
Pembicaraan kitab Majallah tersebut tidak banyak berbeda dengan kitab-kitab fiqh dan pembagian pembagiannya yang biasa. Akan tetapi pembicaraan kitab undang-undang tersebut dipisah-pisahkan satu sama lain dengan fasal-fasal yang memakai nomor berturut-turut, seperti halnya pada kitab undang-undang positif, agar mudah mencari dan melihat ketentuan-ketentuannya. Jumlah fasalnya ada 185 fasal, dibagi menjadi 16 bab (ahmad hanafi.1970.219). pendapat lain mengatakan, ada 1815 fasal terdiri dari 16 bab.
Adapun bab-bab yang terdapat dalam kitab ini adalah:
1.      Bab Jual beli (al-Buyu’)
2.      Bab Sewa menyewa (Perburuhan, al-Ijarat)
3.      Bab Tanggungan (al-Kafalah)
4.      Bab Pemindahan hutang atau piutang (­al-Hiwalah)
5.      Bab Gadai (ar-Rahn)
6.      Bab Titipan (al-Amanat)
7.      Bab Hibah (al-Hibah)
8.      Bab Rampasan dan pengrusakan (al-Ghasab Wa al-Itlaf)
9.      Bab Pengampunan, paksaan dan hak beli dengan paksa (al-Hajr, al-Ikrah, as-Suf’ah)
10.  Bab Serikat dagang (as-Syarikah)
11.  Bab Perwakilan(al-Wakalah)
12.  Bab Perdamaian dan pembebasan hak (as-sulhu wa al-Ibra’)
13.  Bab Pengakuan (al-Iqrar)
14.  Bab Gugatan (ad-Da’wa)
15.  Bab Pembuktian dan sumpah (al-Bayyinah wa at-Tahlif)
16.  Bab Peradilan, pemeriksaan di pengadilan (al-Qadla)
Selain kitab Majallah yang merupakan kitab undang-undang hukum perdata, dalam perkembangannya pemerintahan Turki Ustmaniyah mengeluarkan pula kitab undang-undang keluarga yaitu, Qonunul ‘Ailaat pada tahun 1326 H. undang-undang tersebut dikhususkan untuk masalah perkawinan dan putusnya perkawinan.
Kauntungan yang di peroleh dari keluarnya kitab Majallah itu adalah bahwa di antara beberapa pendapat dalam satu masalah hanya satu saja yang di pakai, tanpa menyebutkan bermacam-macam pendapat seperti lazimnya kitab-kitab fiqh. Cara ini adalah yang biasa di pakai dalam formulasi undang-undang, karena undang-undang tidak boleh memuat ketentuan-ketentuan yang tidak harus dilaksanakan. Tempat penyebutan bermacam-macam pendapat bukanlah undang-undang, melainkan buku-buku hukum (tafsiran-tafsiran hukum) yang biasa diijadikan sumber pelajaran hukum.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah para dunia Islam telah melalui masa kejumudan, timbul kesadaran secara universal bahwa umat islam telah mengalami kejumudan atau kebekuan di dunia keilmuan, para ulama berusaha bangkit kembali, yaitu dengan memunculkan kembali adanya pembaharuan dalam bidang fiqh khususnya. Dan akhirnya para ulama memunculkan kembali adanya pengkodifikasian di bidang fiqh.
Tujuan dari dari pembaharuan kembali fiqh Islam adalah agar ajaran islam tetap ada dan di terima oleh masyarakat modern. Untuk mengembalikan aktualitas hukum Islam atau untuk menjembatani ajaran teoritis dalam kitab-kitab fiqh hasil pemikiran mujtahid dengan kebutuhan masa kini. Cara-cara yang mereka tempuh dalam merealisasikan tujuan ini diantaranya, memberikan kebijakan administrasi, membuat aturan tambahan, meramu hasil-hasil ijtihad yang telah ada, mengkaji ulang dalil fiqh yang tidak actual terutama yang menyangkut hubungan dalil dengan rumusan hukum.
Hal yang mendasari adanya kodifikasi hukum fiqh adalah Keinginan para hakim menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim memberi keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan meteri undang-undang tertentu, dan tidak boleh dilanggar untuk menghindari keputusan yang kontradiktif. Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fikih dengan susunan yang sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk dibaca.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Ahmad, 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, PT. Bulan Bintang: Jakarta.
Khalil, Rosyad hasan. Tarih at-Tasri’al-Islamy, (terjemah: tarikh tasyri’[sejarah legislasi hukum],Nadirsyah hawari.2009), penerbit AMZAH. Jakarta.
 Pilips, Abu Amenah Bilal. The evolution Of Fiqh: Islamic law and the madhabs,(terjemah: Asal-usul dan Perkembangan FIQH [analisis historis atas mazhab, doktrindan kontribusi], ahmad Baedowi.2005), penerbit Nusamedia dengan penerbit Nuansa: Bandung.
____________________ . 2009 Mencermati Tarikh Tasyri’ dan Perkembangannya,: Malang.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar