Senin, 11 April 2011

Jejak Paham Aswaja di Indonesia

PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Pengertian Aswaja secara Bahasa
a. Ahlisunnah waljamaah(aswaja), berasal dari kata, Ahlun : keluarga, golongan atau pengikut. Sunnah : perkataan, amal perbuatan(pekerjaan), persetujuan, dan penetapan Nabi Muhammad SAW.
Berarti Ahlussunnah mempunyai arti: orang – orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.
b. Wal Jama’ah mempunyai arti : Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengukut sunnah Rasul.
Dengan demikian secara bahasa aswaja berarti orang – orang atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.
2. Secara Istilah
Berarti golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqih menganut Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) serta dalam bidang tasawuf menganut pada Imam Al Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi[1].
3. Mazhab
Secara bahasa berasal dari kata madzhabun yang berarti tempat berjalan. Menurut istilah ialah metode atau cara yang dipakai seorang mujtahid (ulama yang memenuhi syarat berijtihad) dalam menetapkan hukum berdasarkan Al Qur’an dan Hadits. Maka bermadzhab ialah menjalankan syariat agama sesuai dengan hasil ijtihad Imam Mujtahid. Bermadzhab hukumnya wajib bagi yang tidak mampu berijtihad. Adapun yang mampu berijtihad maka hukumnya boleh sepanjang memenuhi syarat – syarat sebagai mujtahid. Bermadzhab bukan berarti tidak mengikuti Al Qur’an dan Hadits, sebab ijtihad para Imam Mujtahid berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, baru jika mereka tidak mendapatkan nash di dalam keduanya, mereka kemudian berijtihad[2].
Sebagaimana Hadits Rasul dari Imam Tirmidzi, yaitu ketika Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabal :
Nabi : Dengan apa kamu memutuskan perkara Muadz?
Muadz : Dengan sesuatu yang terdsapat dalam kitabullah (Al Qur ‘an).
Nabi : Kalau tidak engkau dapati dalam kitabullah?
Muadz : Saya akan memutus sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasulullah (Hadits).
Nabi : Kalau tidak engkau dapati pada apa yang telah kuputuskan?
Muadz : Saya akan berijtihad dengan menggunakan pikiran saya.
Nabi : Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan dari utusanNya.
Pada waktu Rasulullah masih hidup, segala persoalan dapat diselesaikan oleh beliau. Perkembangan selanjutnya pada zaman sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan seterusnya banyak persoalan baru muncul, yang pada zaman Nabi belum ada. Karena sulitnya cara menentukan hukum berdasarkan Sumber Hukum yang ada yaitu Al Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma dan Qiyas dari para Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan Ulama penerusnya. Hal iniberjalan sampai tahun 500 H yaitu hampir ada 10 Madzhab.
Namun setelah itu dari 10 madzhab yang ada meringkas menjadi 4 madzhab yang besar yaitu : Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali yang digunakan di dunia Islam sampai sekarang, kecuali yang anti madzhab.
Jadi bermadzhab disini berarti cara yang ditempuh untuk mendapat kebenaran yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits melalui pemahaman atau hasil pemikiran Imam Mujtahid. Adapun ciri – ciri orang Islam yang anti Madzhab antara lain mempunyai sikap sebagai berikut :
·         Selalu mengatakan bahwa mereka adalah orang Islam, bukan Islam ini dan islam itu dan hanya berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits. Dan menganggap sesat kalau bermadzhab.
·         Menganggap semua orang Islam berhak melakukan Ijtihad, menentukan hukum atau menafsirkan hukum sendiri dari Al Qur’an dan Hadits tanpa memperhatikan syarat – syarat Ijtihad dan bantuan ‘Ulama.
·         Tidak mengakui dan menghargai Ulama (Kyai) sebagai pewaris risalah Nabi.
·         Membenci adanya golongan – golongan atau organisasi – organisasi Islam selain golongannya.
·         Keras kepala, tidak mau kalah dalam berdebat walaupun sudah jelas salah, menganggap dirinya yang paling benar, suci, paling ahli surga dan menganggap muslim yang lain ahli bid’ah, sesat, kufur, murtad, dan lain-lain.
·         Suka menonjolkan identitas keislaman yang berbau Arabisme[3].
Adapun Hukum fiqih Aswaja bersumber pada empat pokok :
·         Al Qur’an, merupakan sumber hukum utama yang merupakan wahyu dari Allah SWT.
·         As Sunnah, sember hukum kedua, berupa Hadits (sabda) dan Sunnah (Perilaku) Nabi yang merupakan penjelasan dan tauladan yang sesuai dengan Al Qur’an.
·         Al Ijma’, sumber hukum ketiga, yaitu kesepakatan para Ulama atas suatu hukum setelah watar Nabi.
·         Al Qiyas, sumber Hukum ke empat, yaitu menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum, karena adanya ‘illat yang sama antara keduanya.
Ahlussunah wal Jama’ah mempunyai ciri pokok atau karakteristik dalam hal pengalaman yaitu :
·         Tawazun (seimbang), keseimbangan antara urusan dunia dan akherat, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)
·         Tawasuth (jalan tengah), dalam mengambil keputusan harus menggunakan berbagai pertimbangan dan tidak memihak sebelah, sikap tengah-tengah, sedang-sedang, atau tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).
·         Tasamuh (toleransi), sikap saling menghormati, tidak memaksakan kehendak dan menghargai perbedaan, serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:
فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)[4]
Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).
·         I’tidal (lurus), selalu berjalan lurus dengan berpedoman pada kaidah – kaidah agama.
Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)
·         Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, mengajak pada kebenaran dan mencegah pada keburukan[5].
B. Masuknya Islam Ke Indonesia[6]
Sejumlah ilmuan Belanda, memegang teori bahwa asal muasal Islam di Indonesia adalah Anak Benua India, bukanya Persia atau Arabia. Salah satunya adalah Pijnapel dari Universitas Leiden. Dia mengatakan asal Islam di Indonesia dari wilayah Gujarat dan Malabar. Menurutnya adalah orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang menetap di India yang membawa Islam ke Indonesia.
Teori ini dikembangkan oleh Snouck Hurgronje yang berhujah, begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, Muslim Deccan, banyak diantara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai para penyebar Islam pertama. Baru kemudian mereka disusul orang-orang Arab, kebanyakan dari mereka adalah keturunan Nabi Muhammad. Karena manggunakan gelar sayyid atau syarif, yang menyelesaikan penyebaran Islam di Indonesia. Dan hal ini terjadi pada sekitar abad ke-12.
Menurut hikayat raja-raja Pasai, seorang Syaikh Isma’il datang dengan kapal dari Makkah ke Pasai, dimana ia membuat Merah Silau, penguasa setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudian mengambil gelar Malik Al-Shaleh, yang wafat pada 698/1297. seabad kemudian seorang penguasa Malaka juga di Islamkan oleh Sayyid Abd. Al-Aziz, sorang Arab dari Jeddah. Seorang penguasa itu Parameswara mengambil gelar Mohammad Syah.
Kebanyakan sarjana barat juga memegang teori bahwa penyebar agama Islam tersebut melakukan pekawinan dengan wanita setempat. Dengan pembentukan keluarga muslim ini, maka nukleus komunitas muslim pun tercipta, yang pada waktunya nanti mempunyai andil yang besar buat perkembangan Islam di Nusantara. Selanjutnya para pedagang ini melakukan perkawinan dengan bangsawan lokal sehingga mereka atau keturunanya memperoleh kekuasaan di dunia politik, untuk penyebaran agama Islam.
Oleh karena pertumbuhan Islam pertama oleh para pedagang, maka pertumbuhan komunitas Islam muncul di daerah pesisir Sumatra, jawa dan pulau lainya. Kerajaan Islam pertama juga muncul didaerah pesisir. Demikian halnya kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore. Dari sana Islam menyebar ke daerah-daerah sekitar. Menjelang akhir abad ke 17, Islam sudah hampir merata di Nusantara.
Penyebaran dan pertumbuhan Islam di Nusantara terletak di pundak para Ulama’. Mereka membenuk kader-kader yang akan bertugas sebagai mubaligh ke daerah-daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pondok di Jawa, dayah di Aceh, surau di Minangkabau. Kemudian mereka juga membuat karya-karya yang tersebar dan di baca di berbagai tempat yang jauh. Karya-karya itu menunjukan pemikiran islam di Indonesia masa itu. Abad 16-17, merupakan masa –masa kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat, metafisika dan teologi rasional yangtidak ada tolok bandingnya dimana-mana di zaman apapun di Asia Tenggara. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa ketika tradisi kebudayaan Islam sedang berkembang di Indonesia, dipusat dunia Islam, bidang itu telah mapan. Bahkan disana terkenal dengan masa kebekuan, masa kemunduran pemikiran karena di galakkanya taklid. Dunia pemikiran Islam di Indonesia bagaimanapun juga mempunyai akar pemikiran yang bersumber di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya[7]. 
C. Gerakan Modern Islam[8]
Pembaharuan Islam atau gerakan modern Islam merupkan jawaban yang ditunjukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ke 17, melahirkan kebangkitan Islam dikalangan warga Arab Imperium. Yang terpenting diantaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (salafiah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan kearah pmbaruan yang bernuansa intelektual.
Katalisator terkenal dari gerakan pembaharuan ini adalah Jamaludin Al-Afgani (1897). Ia mengajarkan solidaritas pan Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali ke Islam dalam suasana yang secara ilmiah di modernsasi.
1. Sejarah Perkembangan
a. NU Dan Aswaja
Nahdlatul ‘Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama dengan tujuan memelihara tetap tegaknya ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia. Dengan demikian antara NU dan Aswaja mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan, NU sebagai organisasi atau Jam ‘iyyah merupakan alat untuk menegakkan Aswaja dan Aswaja merupakan aqidah pokok Nahdlatul ‘Ulama.
‘Ulama secara lughowi (etimologis atau kebahasaan) berarti orang yang pandai, dalam hal ini ilmu agama Islam. Begitu berharganya seorang Ulama, sampai Nabi pernah bersabda yang artinya : “Ulama itu pewaris Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewaiskan dirham atau dinar, melainkan hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang cukup banyak.”.
Di Indonesia, seorang ‘Ulama diidentikkan atau biasa disebut “Kyai” yang berarti orang yang sangat dihormati. Agar tidak gampang memperoleh gelar “Ulama” atau “Kyai”, maka ada 3 kriteria yaitu :
·            Norma pokok yang harus dimiliki oleh seorang ‘Ulama adalah ketaqwaan kepada Allah SWT.
·            Seorang Ulama mempunyai tugas utama mewarisi misi (risalah) Rasulullah SAW, meliputi : ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental dan moralnya.
·            Seorang Ulama memiliki tauladan dalam kehidupan sehari – hari seperti : tekun beribadah, tidak cinta dunia, peka terhadap permasalahan dan kepentingan umat & mengabdikan hidupnya di jalan Allah SWT.
b. Kyai Hasyim Asy’ari dan NU : Pejuang Syariah[9]
Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Kakeknya, Kiai Ustman, terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Ayah kakeknya, Kiai Sihah(Abdussalam), adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Sejak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, sejak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain; mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo).
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis[10].
Dalam perjalanan pulang ke Tanah Air, ia singgah di Johor, Malaysia, dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada Abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Di pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi dan berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Cikal-bakal berdirinya perkumpulan para ulama yang kemudian menjelma menjadi Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) tidak terlepas dari sejarah Khilafah. Ketika itu, tanggal 3 Maret 1924, Majelis Nasional yang bersidang di Ankara mengambil keputusan, “Khalifah telah berakhir tugas-tugasnya. Khilafah telah dihapuskan karena Khilafah, pemerintahan dan republik, semuanya menjadi satu gabungan dalam berbagai pengertian dan konsepnya.”
Keputusan tersebut mengguncang umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Untuk merespon peristiwa itu, sebuah Komite Khilafah (Comite Chilafat) didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua KH A. Wahab Hasbullah dari golongan tradisi (yang kemudian melahirkan NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres Kekhilafahan di Kairo (Bandera Islam, 16 Oktober 1924). Kemudian pada Desember 1924 berlangsung Kongres al-Islam yang diselenggarakan oleh Komite Khilafah Pusat (Centraal Comite Chilafat). Kongres memutuskan untuk mengirim delegasi ke Konferensi Khilafah di Kairo untuk menyampaikan proposal Khilafah. Setelah itu, diadakan lagi Kongres al-Islam di Yogyakarta pada 21-27 Agustus 1925. Topik Kongres ini masih seputar Khilafah dan situasi Hijaz yang masih bergolak. Kongres diadakan lagi pada 6 Februari 1926 di Bandung; September 1926 di Surabaya, 1931, dan 1932. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang melibatkan Sarikat Islam (SI), Nahdhatul ulama (NU), Muhammadiyah dan organisasi lainnya menyelenggarakan Kongres pada 26 Februari sampai 1 Maret 1938 di Surabaya. Arahnya adalah menyatukan kembali umat Islam.
Meskipun pada awalnya, Kongres Al-Islam merupakan wadah untuk mengatasi perbedaan, pertikaian dan konflik di antara berbagai kelompok umat Islam akibat perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan menyangkut persoalan furû’iyah (cabang), seperti dilakukan sebelumnya pada Kongres Umat Islam (Kongres al-Islam Hindia) di Cirebon pada 31 Oktober-2 November 1922. Namun, pada perkembangan selanjutnya, lebih difokuskan untuk mewujudkan persatuan dan mencari penyelesaian masalah Khilafah.
Lahirnya NU sendiri, yang merupakan kelanjutan dari Komite Merembuk Hijaz, yang tujuannya untuk melobi Ibnu Suud, penguasa Saudi saat itu, untuk mengakomodasi pemahaman umat yang bermazhab, jelas tidak terlepas dari sejarah keruntuhan Khilafah. Ibnu Suud sendiri adalah pengganti Syarif Husain, penguasa Arab yang lebih dulu membelot dari Khilafah Utsmaniyah. Jadi, secara historis lahirnya NU tidak terlepas dari persoalan Khilafah. Di sisi lain, NU sejak kelahirannya tidak berpaham sekular dan tidak pula anti formalisasi. Bahkan NU memandang formalisasi syariah menjadi sebuah kebutuhan. Hanya saja, yang ditempuh NU dalam melakukan upaya formalisasi bukanlah cara-cara paksaan dan kekerasan, tetapi menggunakan cara gradual yang mengarah pada penyadaran. Hal ini karena sepak terjang NU senantiasa berpegang pada kaidah fiqhiyah seperti: mâ lâ yudraku kulluh lâ yutraku kulluh (apa yang tidak bisa dicapai semua janganlah kemudian meninggalkan semua); dar’ al-mafâsid muqaddamun ‘ala jalb al-mashâlih (mencegah kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemaslahatan). Sejarah NU menjadi bukti bahwa sejak kelahirannya NU justru concern pada perjuangan formalisasi Islam.
D. Prinsip Aswaja Sebagai Manhaj[11]
Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah, pengembilan hukum, Tasawuf/Akhlaq dan bidang sosial-politik.
1. Aqidah
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah (aswaja) diantaranya yang pertama adalah aqidah uluhiyyah (ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada tiga abad hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai eksistensi sifat dan asma Allah SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah asma Allah SWT tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asyari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlah yang dinamai (musamma), sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dza. Sifat Allah adalah nama-nama-Nya. Tetapi nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap muslim bahwa Allah-lah yang menciptakan, memelihara dan mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan rasul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan uamat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwat ini, umat manusia harus meyakini dengan sepenuhnya bahwa Muhammad adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) uantuk umat manusia. Dia adalah Rasul terahir, yang  harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal mdan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan di hitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Merka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2. Bidang Sosial Politik
Berbeda dengan golongan syiah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibakan berdirinya negara (imamah), Aswaja ummum nya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardu kifayah). Pandangan syiah tersebut juga berbeda dengan golongan Khowarij yang memolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengaturdirinya sendiri. Bagi Ahlisunnah Wal-Jama’ah (aswaja), negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemaslahatan bersama (mashlahah musytarokah).
Ahlusunnah Wal-Jama’ah tidak memilimki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau criteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
a. Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keeputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:
maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi)orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka member maaf. Dan (bagi)orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (Qs Akl-Syura, 42: 36-39)[12]

b. Prinsip Al-Adl (keadialan)
keadilan adalah salah satu perintah yang paling banyak ditemukan di Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk ,pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan keadilan:
“sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukumdi antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengjaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (Qs An-Nisa, 4: 58)[13]
c. Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam syariah di kenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu
1)      Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya
2)      Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk,  meyakini dan menjalankan Agama dan kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
3)      Hifzhu al-Nasl ; bahwa negara wajib membarikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mengunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu Al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
4)      Hifzhu al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidah boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara[14].
 Al-ushulul Khams identik dengan konsep Hak Asasi Manusia yang lebih di kenal dalam dunia modern, bahkan mungkin dikalangan ahlusunnah wal-jamaah.  Lima pokok atau atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.
d. Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara manusia satu dengan manusia lain, bangsa yang satu dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:
“hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orangm yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal. (Al-Hujuraat, 49: 13)
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Maidah:
“untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semua, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Al-Midah; 5: 48)
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pamerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya dimata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlangar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, formalisasi syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Aswaja. Sebagai manpun perintah dalam Alqur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas untuk mendirikan salah satu diantara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan-baik negara maupun kerajaan- harus memenuhi empat criteria di atas.
   KESIMPULAN
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahab secara evolutif. Pertama, tahap embrional pemikiran sunni dalam bidang teologi bersifat eklektik, yakni memilih salah satu pendapat yang dianggap paling benar. Pada tahap ini masih merupakan tahap konsolidasi, tokoh yang menjadi penggerak adalah Hasan Al-Basri (110 H/728 M). Kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam Al-Syafi’i (205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahap ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama. Proses kristalisasi ini dilakukan oleh tiga tokoh dan sekaligus ditempat yang berbeda pada waktu yang bersamaan, yakni; Abu Hasan Al-Asy’ari (324 H/935 M)di Mesopotamia, Abu Mansur Al-Maturidi (w.331 H/944 M) di Samarkand, Ahmad Bin Ja’far Al-Thahawi (331 H/944 M) di Mesir. Pada zaman kristalisasi inilah Abu Hasan Al-Asy’ari meresmikan sebagai aliran pemikiran yang dikembangkan. Dan munculnya aswaja ini sebagai reaksi teologis-politis terhadap Mu’tazilah, Khowarij dan Syi’ah yang dipandang oleh As’ari sudah keluar dari paham yang semestinya.
Lain dengan para Ulama’ NU di Indonesia menganggap aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran) dan tawazzun (seimbang) serta ta’addul (Keadilan). Perkembangan selanjutnya oleh Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berdasarkan atas dasar modernisasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.
DAFTAR PUSTAKA
Yaqin, Ainul, Warga NU, Aktivis Lembaga Kajian Islam Hanif (L-Jihan) Sidogiri.com. senin 19:30.
Azyumardi, Azra, Jaringan Ulama. 1994, Bandung ; Mizan.
Badri, Yatim, Sejarah Peradaban Islam, 2001, Jakarta: Raja Grafindo Jaya.
 Nasution, Harun, Teologi Islam, aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, 1986, UI press, Jakarta.
Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, 2006, Khalista, Surabaya.
Idris ahmad, Dasar-dasar hukum  islam dan aqidah Ahlussunnah wal-Jamaah, 1969, Azam, Jakarta.
Ridwan, Kholik Nur, NU dan Neoliberalisme, 2009, LKiS, Yogyakarta.
Zuhri, saifuddin MA, sejarah NU, 2006, Jombang.


[1] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif  Sejarah dan Ajaran (Surabaya: Khalista, 2006), 25.

[2] Idris ahmad, Dasar-dasar hukum  islam dan aqidah Ahlussunnah wal-Jamaah(Jakarta: azam), 67.
[3] Ibid, (123)
[4] Hasyim lathif, Nahdlatul Ulama penegak panji ahlussunnah wal-jamaah,( peng.wilayah NU jatim), 45.
[5] Ibid, (45)
[6] Shaban, Sejarah Islam…, hal. 96 -97.
[7] Ibid, 100-101.
[8] Nur kholis R, NU dan neolib….,(Yogyakarta; LKis), 65.
[9] MA. Saifuddin Z, Sejarah NU, 45-50.
[10] Ibid, 60-62.
[11] Ibid, 132.
[12] Terjemah: al-Qur’an. Jakarta.
[13] Terjemah; al-quran tajwid dan terjemah, 87.
[14] Ibid 140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar