Minggu, 21 Oktober 2012

Pendidikan Agama di Era Multikultural

Bineka Tunggal Ika

1. Akhir-akhir ini dampak dari globalisasi maka hubungan antar negara, bangsa apalagi suku dan etnis sudah semakin dekat. Hubungan antar orang yang berlatar belakang agama, bangsa, suku, adat istiadat yang berbeda dialami pada setiap saat. Lebih-lebih, pada interaksi melalui alat elektronik seperti TV, internet dan lain-lain, sudah sedemikian mudah dilakukan. Dahulu, orang bisa melarang agar membatasi pergaulan dengan kelompok atau bangsa tertentu, maka pada saat sekarang ini sudah tidak mungkin dicegah-cegah seperti itu. Pergaulan antar manusia, suku bangsa dan negara sudah sedemikian bebas dan terbuka. Padahal, hubungan kemanusiaan dengan siapapun dan kapanpun harus tetap dijaga untuk saling memahami, menghargai dan atau menghormati satu dengan lain agar terjadi suasana harmoni. Prsoalannya adalah bagaimana hal itu ketika dihadapkan dengan pendidikan agama khususnya Islam. Persoalan ini perlu didiskusikan secara panjang lebar untuk menghindar keraguan, apalagi kesalah-pahaman.
2. Beberapa prinsip pokok yang perlu dikemukakan sebelum memperbincangkan tentang pendidikan agama multikultural adalah : (1) Islam adalah agama yang bersifat universal. Islam bukan diperuntukkan bagi salah satu suku bangsa, atau etnis tertentu melaikan sebagai rahmatan lil alamien. (2) Islam menghargai agama dan kepercayaan agama lain. Islam juga mengajarkan tidak ada pemaksanaan dalam beragama; (3) Islam juga merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya; (4) Islam juga menegaskan bahwa keanekaragaman dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin, suku, bangsa yang beraneka ragam. Perbedaan itu agar terjadi saling mengenal;; (5) Islam memiliki sejarah yang cukup jelas terkait dengan kehidupan yang majemuk sebagaimana yang ditunjukkan oleh rasulullah sendiri tatkala membangun masyarakat madani di madinah. Prinsip-prinsip dasar sperti ini perlu dijadikan rujukan dalam memperbincangkan pendidikan multikultual.

3. Atas dasar beberapa prinsip tersebut di atas maka sesungguhnya Islam sendiri memberikan ruang yang seluas-luas pada pendidikan multikultural. Bahwa perbedaan-perbedaan itu justru telah dijelaskan sendiri oleh al Qur’an. Oleh karena itu tidak selayaknya ditutup-tutupi, apalagi diingkari. Sebagai ajaran yang terbuka, juga tidak selayaknya para umatnya memiliki rasa takut untuk terpengaruh dari ajaran lain. Ketakutan dapat dimaknai sebagai penyandang mental kalah yang seharusnya tidak dikembangkan oleh umat Islam. Atas dasar keyakinan yang kukuh, maka Islam memberikan kebebasan umatnya bergaul secara bebas dan terbuka dalam pentas pergaulan umat manusia sejagat. Rasulullah, pernah berkirim surat ke raja Heraklius, untuk memperkenalkan ajaran Islam. Oleh karena itu konsep pendidikan agama multikultural bukan harus dijauhi melainkan harus dihadapi secara obyektif dan penuh percaya diri.

4. Pendidikan agama multikultural selain memperkukuh tauhid atau dasar-dasar keyakin an Islam maka perlu pula dikembangkan prinsip-prinsip dasar pergaulan antar sesama manusia menurut ajaran Islam secara lebih mendalam. Bagaimana di tengah-tengah perbedaan di antara sesama manusia sesungguhnya Islam mengajarkan konsep (1) kasih sayang antar sesama, (2) saling mengenal, (3) saling menghargai, (4) saling tolong menolong. Islam melarang merendahkan orang lain, bermusuh-musuhan, apalagi saling membinaakan. Membuat kerusakan di muka bumi, apalagi menghilangkan nyawa dengan alasan yang tidak benar menurut pandangan Islam merupakan dosa besar. Konsep Islam tentang tata pergaulan seperti ini mesti dikedepankan dalam pendidikan agama.

5. Dalam tataran implementasi, saya pernah menyaksikan lembaga pendidikan yang para siswanya berasal dari berbagai etnis dan bangkan suku bangsa yang berlainan. Perbedaan bukan saja dari latar belakang agama dan budaya tetapi secara kasat mata dapat disaksikan sebagian anak berkulit putih, sebagian lain berkulit hitam dan sebagian lain berkulit kuning kehitam-hitaman seperti bangsa asia. Mereka setiap hari duduk dan belajar bersama. Di antara mereka diajak untuk saling mengerti, memahami dan menghormati dan bahkan saling bekerja sama. Bahkan saya melihat, dengan perbedaan itu maka akan terjadi saling berkompetisi dengan cara yang terbuka atau fair. Persoalan yang muncul dalam berkomunikasi sehingga melahirkan konflik yang tidak perlu, sesunguhnya terjadi oleh karena sikap-sikap kurang percaya diri untuk bersaing dan kemudian mengambil jalan yang tidak terbuka itu. Sepanjang nilai-nilai keterbukaan, sportifitas di jaga betul maka suasana harmoni dalam kehidupan multikultural ini dapat dijaga dengan baik.

6. Di lingkungan kita, konsep pendidikan agama multikultual ini masih tergolong baru. Walaupun sesungguhnya dalam tataran doktrin yang bersumber dari ajaran Islam, al Qur’an dan hadits, sudah sejak diturunkan ajaran ini sudah diperkenalkan. Hanya saja, oleh karena gejala hidup multikultural merupakan, setidak-tidaknya di Indonesia, dan lebih khusus lagi di kota kecil seperti Malang ini, masih merupakan gejala baru maka perlu pengenalan melalui diskusi, tukar pendapat dan bahkan juga melakukan studi banding ke tempat-tempat yang fenomena itu sudah berjalan lebih lama. Pro dan kontra selalu akan terjadi, sebab hal yang demikian sudah menjadi kelaziman tatkala hal-hal baru diperkenalkan atau terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya perubahan itu tokh akhirnya akan diterima jika hal itu sudah menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari lagi.

7. Selama ini saya berkeyakinan, jika agama-agama diberikan secara terbuka maka justru akan memperkukuh keyakinan yang dimiliki oleh masing-masing pemeluk. Cara-cara yang dilakukan sebagian masyarakat untuk melakukan proteksi berlebihan, sehingga menjadikan miskin informasi tentang dunia luar, justru akan membahayakan. Dalam beragama, bahwa meyakini hanya agamanya sendirilah yang paling benar adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, semestinya keyakinan seperti itu tidak harus merendahkan agama apalagi orang yang memeluk agama lain. Yang dipentingkan adalah bahwa pengakuan membenarkan agama sendiri dibekali oleh tanggung jawab, baik bersumber hal itu bersumber kitab suci atau alasan-alasan lainnya ang dapat dibangunnya. Berangkat dari pandangan ini maka dapat terhindar dari sikap keberagamaan yang hanya bersifat ikut-ikutan. Islam sendiri membawa umatnya agar beragama secara sungguh-sungguh atau kaffah. Artinya, dalam beragama Islam tidak menghendaki dilakukan secara sete ngah-setengah, tidak ke sana dan juga tidak kemari.
(Sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar