A. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia
adalah salah satu negara yang multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini
dapat dilihat dari sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Dengan jumlah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sekitar kurang lebih 13.000 pulau besar dan kecil, dan jumlah penduduk kurang
lebih 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 bahasa
yang berbeda. Selain itu, juga menganut agama dan
kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katholik, Kristen Protestan, Hindu,
Budha, Konghucu, serta berbagai macam kepercayaan dan aliran keyakinan lainnya.
Keragaman
ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai macam persoalan yang
sekarang ini dihadapi bangsa ini, seperti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme),
premanisme, perseteruan politik,
kemiskinan, kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan dan hilangnya
kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata dari
multikulturalisme itu. Contoh kongkrit terjadinya tragedi pembunuhan
besar-besaran terhadap pengikut partai PKI pada tahun 1965, kekerasan etnis
China di Jakarta pada bulan Mei 1998, dan perang antara Islam - Kristen di
Maluku Utara sejak 1999 sampai 2003.
Sebagai
pemeluk agama yang mayoritas penduduknya muslim, maka lembaga pendidikan Islam
cukup mendapat tempat di negeri ini. Namun permasalahan yang mendasar dalam hal
ini adalah sejauhmana orientasi pendidikan Islam dalam mengakomodir
permasalahan-permasalahan yang muncul di tengah-tenagah masyarakat. Mengingat
dalam kondisi masyarakat yang multikultural ini, sangat rentan terhadap
disintegrasi dan gap di tengah masyarakat, jika orientasi dan pemahaman
keagamaan masyarakat tidak mampu menerima fakta sosial di tengah-tengah mereka.
Dalam upaya
menjembatani harapan tersebut maka konsep pendidikan multikultural menjadi
salah satu solusi dalam menghadapi permasalahan tersebut. Namun demikian, isu
pendidikan ini masih relatif baru dalam kancah pendidikan di Indonesaia,
terutama dalam lingkup masyarakat muslim. Hal ini mengingat, multikulturalisme
merupakan suatu perkembangan yang relatif baru dalam khasanah ilmu pengetahuan,
khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Namun dengan demikian multikulturalisme terus
berkembang sesuai dengan perubahan sosial yang dihadapi oleh umat manusia
khususnya di dalam era dunia terbuka dan era demokratisasi kehidupan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar
belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang ingin
dijawab dalam tulisan ini, yakni:
1.
Apa yang dimaksud dengan multikultural?
2.
Bagaimana pendidikan multikultural?
3.
Bagaimana Pendidikan Islam Multikultural Dalam Konteks Keindonesiaan
4.
Bagaimana Potret pendidikan agama islam di tengah multikulturalisme
5.
Bagaiman Kurikulum pendidikan agama islam berwawasan multicultural
6.
Apa Faktor pendukung dan penghambat wawasan multikultural dalam PAI.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MULTIKULTURALISME
1.
Pengertian Multikulturalisme
Secara
sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”. Istilah multikultural ini sering digunakan untuk menggambarkan
tentang kondisi masyarakat yang terdiri dari keberagaman agama, ras, bahasa,
dan budaya yang berbeda.
Selanjutnya
dalam khasanah keilmuan, istilah multikultural ini dibedakan ke dalam beberapa
ekspresi yang lebih sederhana, seperti pluralitas (plurality), keragaman
(diversity) dan multikultural (multicultural) itu sendiri. Konsep
pluralis mengandaikan adanya “hal-hal yang lebihn dari satu (many)”,
sedangkan keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang “lebih dari satu” itu
berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat disamakan. Sedangkan
multikulturalisme, sebenarnya masih tergolong relatif baru. Secara konseptual
terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural.
Sebagai
terminologi baru, multikultiralisme, menurut HAR. Tilaar, masih belum banyak
dipahami orang. Karena memang istilah multikulturalisme itu sendiri ternyata
bukanlah hal yang mudah. Di dalamnya mengandung dua pengertian yang
sangat kompleks, yaitu “multi” yang berati jamak atau plural, dan “kulural”
yang berarti kultur atau budaya.
Pada tahap
pertama multikulturalisme baru mengandung hal-hal yang esensial di dalam
perjuangan kelakuan budaya yang berbeda (the other). Dan pada tahap
perkembangan berikutnya yang disebut gelombang kedua (second wave), dari
paham multikulturalisme telah menampung berbagai jenis pemikiran baru sebagai
berikut; Pertama, pengaruh studi kultural. Studi kultural (cultural
studies) antara lain melihat secara kritis masalah-masalah esensial di
dalam kebudayaan kontemporer seperti identitas kelompok, distribusi kekuasaan
di dalam masyarakat yang diskriminatif, peranan kelompok-kelompok masyarakat
yang termarjinalisasi, feminisme, dan maslah-maslah kontemporer seperti
toleransi antarkelompok dan agama.
Kedua, postkolonialisme. Pemikiran postkolonialisme
meloihat kembali hubungan antara eks penjajah dengan daerah jajahannya yang
telah meninggalkan banyak stigma yang biasanya merendahkan kaum terjajah.
Pandangan-pandangan postkolonialisme antara lain ingin mengungkit kembali
nilai-nilai indigenous di dalam budaya sendiri dan berupaya untuk
melahirkan kembali kebanggaan terhadap budaya asing.
Ketiga, globalisasi. Globalisasi ternyata telah
melahirkan budaya global yang memiskinkan potensi-potensi budaya asli. Untuk
itu timbul suatu upaya untuk menentang globalisasi dengan melihat kembali
peranan budaya-budaya yang berjenis-jenis di dalam masyarakat. Revitalisasi
budaya local merupakan upaya menentang globalisasi yang mengarah kepada
monokultural budaya dunia.
Keempat, feminisme dan post peminisme. Gerakan
feminisme yang semula berupaya untuk mencari kesejahteraan antara perempuan dan
laki-laki kini meningkat kea rah kemitraan antara laki-laki dan perempuan. Kaum
perempuan bukan hanya menuntut penghargaan yang sama dengan fungsi yang sama
dengan laki-laki tetapi juga sebagai mitra yang sejajar dalam melaksanakan semua
tugas dan pekerjaan di dalam masyarkat.
Kelima, Post-strukturalisme. Pandangan ini
mengemukakan mengenai perlunya dekonstruksi dam rekonstruksi masyarakat yang
telah mempunyai struktur-struktur yang telah mapan yang bisanya hanya untuk
melanggengkan struktur kekuasaan yang ada.
Dari
gambaran pemahaman tentang multikultural yang dikemukakan di atas, maka
dapat dipahami bahwa inti dari konsep multikulturalisme adalah kesediaan
menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan
perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas
sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka
multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu
mereka adalah sama di dalam ruang public. Multikulturalisme menjadi semacam
respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya
komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah
bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh Negara. Oleh karena itu,
multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of
recognition) terhadap semua perbedaan sebagai entitas dalam masyarakat yang
harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksistensinya. Diversitas
dalam masyarakat modern bias berupa banyak hal, termasuk perbedaan yang secara
alamiah diterima oleh individu maupun kelompok dan yang dikonstruksikan secara
bersama dan menjadi semacam common sense.
Perbedaan
tersebut menurut Bikhu Parekh bias dikategorikan dalam tiga hal, yaitu; Pertama,
perbedaan subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau
sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda
dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang
berlaku.
Kedua, perbedaan dalam perspektif (perspective
diversity), yaitu individu atau kelompok dengan perspektif kritis terhadap mainstream
nilai atau budaya mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya.
Ketiga,
perbedaan komunitas (communal
diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine
sesuai dengan identitas komunal mereka (indigeneous people way of life).
2. Sejarah
Multikulturalisme
Sebagai
sebuah gerakan, menurut Bhiku Parekh, multikulturalisme baru sekitar tahun
1970-an mulai muncuil pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika
Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya.(5) Setelah itu, diskursus
meultikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah tiga decade sejak
digulirkan, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting, yaitu; Pertama,
multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda.
Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri
utama dari gelombang pertama ini. Kedua, yaitu yang disebut gelombang
kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang
mengalami beberapa tahapan, diantaranya: kebutuhan atas pengakuan, melibatkan
berbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperealisme dan
kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/ masyarakat
adapt (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi,
post-nasionalisme, post-modernisme, dan post-strukturalisme yang
mendekonstruksi struktur kemapanan dalam masyarakat.(6)
Multikulturalisme
gelombang kedua ini, menurut Steve Fuller pada gilirannya memunculkan tiga
tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus diwaspadai, yaitu, pertama,
adanya hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu
pengetahuan. Komunitas, utamanya Negara-negara berkembang perlu mempelajari
sebab-sebab dari hegemoni Barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil
langkah-langkah seperlunya dalam mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan
dunia Barat. Kedua, esensialisme budaya. Dalam hal ini multikulturalisme
berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia
dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit
yang pada akhirnya merugikan komunitas itu sendiri di dalam era globalisasi. Ketiga,
proses globalisasi, bahwa globalisasi bias memberangus identitas dan
kepribadian suatu budaya.
Oleh kaena
itu, untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang multikulturalisme,
Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi yang harus diperhatikan dalam kajian
ini, yaitu; Pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur
dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi.
Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak bias bersikap kritis terhadap
system budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan
selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut.
Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari
system nil;aid an cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena
itu, suatu budaya merupakan suatu entitas yang relative sekaligus partial dan
memerlukan budaya lainuntuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya pun yang
berhak memaksakan budayanya kepada system budaya lain.
Ketiga,
pada dasarnya, budaya
secara internal merupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi
antarperbedeaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegaskan
koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu
yang majemuk, terus berproses dan terbuka.
Dalam
sejarahnya, melani Budianata menyatakan bahwa multikulturalisme diawali dengan
teori melting pot yang diwacanak oleh J. Hector St. John \de Crevecour
seorang imigran asal Normandia yang menggambarkan bercampurnya berbagai manusia
dari latar belakang berbeda menjadi bangsa baru “manusia baru”.(9) Dalam
hal ini Hector ingin menekankan penyatuan bangsa dan ‘melelehkan” budaya asal,
sehingga seluruh imigran amerika hanya memiliki satu budaya baru yakni budaya
Amerika. Dalam hal ini bagaimanapun juga, konsep melting pot masih
menunjukkan perspektif yang bersifat monokultir, karena acuan atau “cetakan
budaya” yang dipakai untuk “melelehkan” berbagai asal budaya tersebut mempunyai
karakteristik yang secara umum diwarnai oleh kelompok berkulit putih,
berorientasi budaya anglo-saksos dan bernuansa Kristen protestan (White
Anglo Saxson Protestan) – biasa disebut WASP – sebagai kultur imigran kulit
putih berasal Eropa.
Wacana
multikultural di Barat, pada gilirannya akan menjadi isu global seiring dengan
berjalannya proses globalisasi yang tidak mengenal demarkasi antarnegara.
Terlebih lagi dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang
memungkinkan terjadinya interaksi antarbudaya di tengah masyarakat dunia.
B. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Minggu
(25/9/2011), publik Indonesia kembali dikagetkan dengan peristiwa bom bunuh
diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Keputon, Solo, Jawa Tengah.
bom bunuh diri yang menewaskan satu orang yang diduga sebagai pelakunya dan
melukai puluhan jamaat Gereja GBIS Solo tersebut mencabik-cabik perasaan jutaan
umat Islam di Indonesia yang terkenal dengan keramahnya karena pelakunya kuat
diduga sebagai seorang Muslim yang salah dalam memaknai "jihad". kita
kaget karena ternyata sebagian umat Islam di Indonesia belum mau menerima
pluralitas dan keberagaman suku, budaya, bahasa, dan agama sebagai sebuah
keniscayaan yang memang di-setting oleh Allah SWT sebagai sebuah sunnat Allah.
berangkat dari sinilah maka menurut Penulis sudah saatnya kita mengembangkan
pendidikan agama yang berwawasan multikultural agar tercipta harmonisasi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wacana
pendidikan multikultural di Indonesia agaknya masih asing di kalangan sebagaian
pendidik, ataupun jika tidak, wacana tersebut sebatas wacana yang “melangit”
dikalangan para praktisi pendidikan dan belum diimplementasikan pada lembaga
pendidikan dengan segenap perangkat (kurikulum)nya. Tulisan ini dimaksudkan
memberikan sebuah tawaran gagasan penerapan pendidikan multikultural dalam
konteks pendidikan agama Islam (PAI) di Indonesia.
Secara garis
besar multikulturalisme dapat dipahami sebagai sebuah paham yang menekankan
pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak
dan eksistensi budaya lain. Sebagai sebuah ide, pendidikan multikultural
dibahas dan diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat
pada tahun 1960-an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil
right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi
praktik diskriminasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja,
dan di lembaga-lembaga pendidikan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas
terhadap kelompok minoritas.[12]
Gerakan
hak-hak sipil ini, menurut James A. Bank, berimplikasi pada dunia pendidikan,
dengan munculnya beberapa tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum
pendidikan yang sarat dengan diskriminasi. Sehingga pada awal tahun 1970-an
bermunculan sejumlah kursus dan program pendidikan yang menekankan pada
aspek-aspek yang berhubungan dengan etnik dan keragaman budaya (cultural
diversity). Begitu juga keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang
beragam latar belakang bahasa dan kebangsaan (nationality), suku (race
or etnicity), agama (religion), gender, dan kelas sosial (social
class) dalam suatu masyarakat juga berimplikasi pada keragaman latar
belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan sehingga turut
melatarbelakangi berkembangnya pendidikan multikultural.
Pendidikan
multikultural menurut Prudence Crandall (1803-1890) adalah pendidikan yang
memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik baik dari
aspek keragaman suku, etnis, ras, agama, aliran kepercayaan dan budaya
(kultur). Salah satu yang hendak dituju
dari pendidikan multikultural adalah terpenuhinya kebebasan masing-masing
peserta didik untuk mendapatkan haknya tanpa ada yang menghalangi. Melaksanakan
hak tidak berarti sama dengan berbuat bebas (liberal) sebebas-bebasnya
karena di sana terdapat orang lain yang juga berhak melakukan sesuatu
(Abdurrahman Assegaf: 2011: 18).
Pendidikan
multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang dari
suku, budaya, nilai, dan agama berbeda sehingga tumbuh sikap saling menghargai
perbedaan (agree in disagreement), dan dapat hidup saling berdampingan
satu dengan yang lain (to live together). Dengan kata yang lain, siswa
diajak untuk menghargai – bahkan menjunjung tinggi – pluralitas dan
heterogenitas. Menurut Syafiq A. Mughni (2003: ix),
paradigma pendidikan multikultural mengisyaratkan bahwa individu siswa belajar
bersama dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi
dan saling memahami, untuk mengembangkan: i) transformasi diri; ii)
transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan; iii) transformasi
masyarakat.
Dalam
pandangan Abdullah Aly, tujuan pendidikan multikultural mencakup: (i). Tujuan attitudinal
(sikap), yaitu membudayakan sikap sadar, sensitif, toleran, respek terhadap
identitas budaya, responsif terhadap berbagai permasalahan yang timbul di
masyarakat. (ii). Tujuan kognitif, yaitu terkait dengan pencapaian akademik,
pembelajaran berbagai bahasa, memperluas pengetahuan terhadap kebudayaan yang
spesifik, mampu menganalisa dan menginterpretasi tingkah laku budaya dan
menyadari adanya perspektif budaya tertentu. (iii).
Tujuan instruksional, yaitu menyampaikan berbagai informasi mengenai berbagai
kelompok etnis secara benar di berbagai buku teks maupun dalam pengajaran,
membuat strategi tertentu dalam menghadapi masyarakat yang plural, menyiapkan
alat yang konseptual untuk komunikasi antarbudaya dan untuk pengembangan
ketrampilan, mempersiapkan teknik evaluasi dan membuka diri untuk
mengklarifikasi dan penerangan mengenai nilai-nilai dan dinamika budaya
Secara
konseptual, menurut Gorsky (dikutip dari Hamid Hasan: 2000: 102), pendidikan
multikultural mempunyai tujuan sebagai berikut: (a). setiap siswa mempunyai
kesempatan untuk mengembangkan prestasi mereka; (b). Siswa belajar bagaimana
belajar dan berpikir secara kritis; (c). mendorong siswa untuk mengambil peran
aktif dalam pendidikan, dengan menghadirkan pengalaman-pengalaman mereka dalam
konteks belajar; (d). mengakomodasi semua gaya belajar siswa; (e).
mengapresiasi kontribusi dari kelompok-kelompok yang berbeda; (f).
mengembangkan sikap positif terhadap kelompok-kelompok yang mempunyai latar
belakang berbeda; (g). untuk menjadi warga negara yang baik di sekolah maupun
di masyarakat; (h). belajar bagaimana menilai pengetahuan dari perspektif yang
berbeda; (i). untuk mengembangkan identitas etnis, nasional dan global, dan;
(j). mengembangkan keterampilan-keterampilan mengambil keputusan dan analisis
secara kritis sehingga siswa dapat membuat pilihan yang lebih baik dalam
kehidupan sehari-hari.
C.
PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN
Ismail Faruqi menyebutkan, sebagaimana dikutif oleh Sangkot, bahwa setidaknya
ada empat isu pokok yang dipandang sebagai landasan normative pendidikan Islam
multikultural, khususnya di bidang keagamaan, yaitu: 1) kesatuan dalam aspek
ketuhanan dan pean-Nya (wahyu), 2) kesatuan kenabian, 3) tidak ada paksaan
dalam beragama, dan 4) pengakuan terhadap eksistensi agama lain. Semua yang demikian disebut normatif karena sudah
merupakan ketetapan Tuhan. Masing-masing klasifikasi didukung oleh teks
(wahyu), kendati satu ayat dapat saja berfungsi untuk justifikasi yang
lain.Sedangkan masalah-maslah yang muncul dari pendidikan multicultural di
Indonesia secara umum ada dua hal, yaitu; pertama, pendidikan multicultural
merupakan suatu proses. Artinya, konsep pendidikan multicultural yang baru
dimulai dalam dunia pendidikan khususnya di Indonesia memerlukan proses
perumusan, refleksi dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan
konsep-konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak-hak asasi manusia.Kedua,
pendidikan multicultural merupakan suatu yang multifaset. Oleh sebab itu
meminta suatu pendekatan lintas disiplin (border crossing) dari para
pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin memperhalus dan mempertajam konsep
pendidikan multicultural yang dibutuhkan oleh masyarakat yang dalam hal ini
masyarakat Indonesia.
Konsep dasar
dari pendidikan multicultural itu memiliki empat nilai ini (core values),
yaitu:
1.
Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat.
2.
Pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia.
3.
Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia.
4.
Pengembangan tanggung jawab manusia dan terhadap planet bumi.
Berdasarkan
nilai-nilai inti di atas, maka dapat dirumuskan beberapa tujuan yang berkaitan
dengan nilai-nilai inti tersebut, yaitu:
1.
Mengembangkan perspektif sejarah yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat
2.
Memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat.
3.
Memperkuat kompetensi intelektual dan budaya-budaya yang hidup di masyarakat
4.
Membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka (prejudice).
5.
Mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi, dan
Dari uraian
di atas kiranya ada beberapa hal yang perlu dikaji dalam penerapan pendidikan
Islam multicultural di Indoneisa, yaitu; Pertama, pendidikan
multicultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesa ini ada. Falsafah
bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suku gotong royong, membantu, dan
menghargai antar satu dengan yang lainnya, betapa dapat dilihat dalam potret
kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan
terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi.
Kedua, pendidikan multicultural memberikan secercah
harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir
ini. Pendidikan multikulural adlah pendidikan ysenantiasa menjunjung tinggi
nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas, dan keragaman, apapun
aspeknya dalam masyarakat.
Ketiga, pendidikan multicultural menentang pendidikan
yang berorientasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau
perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah
institusi yang mampu menghasilkan income yang besar.
Keempat, pendidikan multicultural sebagai resistensi
fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika
saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari
akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara
tuntas dan saling menerima.
B. D.
POTRET PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI TENGAH MULTIKULTURALISME
Dalam
konteks Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga pendidikan diasumsikan
juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama,
etnik, bahasa, dan budaya. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada data bahwa di
Indonesia terdapat 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua francka),
13.000 pulau, dan 5 agama resmi. Paling tidak keragaman
latar belakang siswa di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia terdapat pada
paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, jenis
kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau pedesaan).
Apabila
dikaji secara mendalam, Islam sangat ramah dan menghargai keanekaragaman
sebagai realitas (hukum alam- sunnat Allah). Dalam hal ini, konsep
rahmatan lil ‘alamin merupakan landasan kultural ajaran Islam. Untuk
menjalankan misi kemanusiaanya tersebut, Islam memiliki instrumen yaitu
meletakkan pendidikan pada barisan terdepan, karena pendidikanlah yang secara
langsung berhadapan dengan umat manusia (Abudin Nata: 2001: 100).
Memperbincangkan
pendidikan (agama) Islam pada hari ini biasanya memunculkan gambaran pilu dalam
pikiran kita tentang ketertinggalan, kemunduran, dan kondisi yang serba tidak
jelas sehingga memberikan kontribusi ekslusivisme dalam Islam. Kautsar Azhari
Noer (dalam Conni Semiawan, tt) menyebutkan empat faktor penyebab kegagalan
pendidikan Agama Islam tersebut, yaitu: pertama, penekanannya lebih pada
proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai
keagamaan dan moral kepada anak didik; Kedua, sikap bahwa pendidikan
agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka atau sebagai
“pelengkap” yang dipandang sebelah mata; Ketiga, kurangnya penekanan
pada nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta,
kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi, dan; Keempat,
kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.
Sedangkan
Muhaimin (2003: 71) mengidentifikasi bahwa kegagalan pendidikan agama Islam
setidaknya disebabkan karena : 1) pendidikan agama masih berpusat pada hal-hal
yang bersifat simbolik, ritualistik, serta bersifat legal formalistik
(halal-haram) dan kehilangan ruh moralnya; 2) kegiatan pendidikan agama
cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif dan paling banter hingga
ranah emosional. Selain itu, ada juga beberapa kelemahan lainnya, yaitu: 1)
dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada paham fatalistik; 2)
bidang akhlak yang hanya berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami
sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama; 3) bidang ibadah diajarkan
sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan
kepribadian; 4) dalam bidang hukum (fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata
aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan
jiwa hukum Islam; 5) agama Islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang
mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan; 6)
orientasi mempelajari al-Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks,
belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.
Dalam
konteks yang tidak jauh berbeda, M. Amin Abdullah (1998: 65) melihat beberapa
kelemahan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, yaitu: 1) pendidikan agama
lebih banyak terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang
bersifat kognitif semata serta amalan-amalan ibadah praktis; 2) pendidikan
agama kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan
agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan
dalam diri anak didik lewat berbagai cara, media dan forum; 3) isu kenakalan
remaja, perkelahian di antara pelajar, tindak kekerasan, premanisme, white
color crime, konsumsi miras, dan sebagainya, walaupun tidak secara
langsung, memiliki kaitan dengan metodologi pendidikan agama yang selama ini
berjalan secara konvensional-tradisional; 4) metodologi pendidikan agama tidak
kunjung berubah antara pra dan post era modernitas; 5) pendidikan
agama lebih menitikberatkan pada aspek korespondensi-tekstual, yang lebih
menekankan hafalan teks-teks keagamaan yang sudah ada; 6) dalam sistem
evaluasi, bentuk-bentuk soal ujian agama Islam menunjukkan prioritas utama pada
kognitif dan jarang pertanyaan tersebut mempunyai bobot muatan “nilai” dan
“makna” spiritual keagamaan yang fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena
itu, untuk membentuk pendidikan yang mampu menghasilkan manusia yang memiliki
kesadaran multikulturalisme, diperlukan rekonstruksi pendidikan agama.
Maksudnya, kalau selama ini pendidikan agama masih menekankan sisi keselamatan
yang dimiliki dan didambakan oleh orang lain di luar diri dan kelompoknya
sendiri, maka pendidikan agama perlu direkonstruksi kembali, agar lebih
menekankan proses edukasi sosial yang tidak semata-mata individual dan memperkenalkan
social contract. Dengan demikian, pada diri peserta didik tertanam suatu
keyakinan bahwa kita semua sejak semula memang berbeda-beda dalam banyak hal,
lebih-lebih dalam bidang akidah, iman dan kredo. Namun, demi menjaga
keharmonisan, keselamatan dan kepentingan kehidupan bersama, mau tidak mau
harus rela menjalin kerja sama dalam bentuk sosial antarsesama kelompok warga
masyarakat. Dengan reorientasi ini, diharapkan akan terjadi perubahan proses
dan mekanisme pembelajaran menuju ke arah terciptanya pemahaman dan kesadaran
multikultural kepada anak didik. Dalam hubungannya dengan hal ini, setidaknya
peran aktif yang harus segera dikerjakan oleh praktisi pendidikan (Islam)
adalah menyusun dan mengembangkan disain kurikulum dan metode pendidikan agama yang
mampu menumbuhkan sikap saling menghargai antarpemeluk agama dan kepercayaan.
C. E.
KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERWAWASAN MULTIKULTURAL
Sebagaiman
Penulis uraikan diatas, pendidikan multikultural dipahami sebagai suatu
pengetahuan yang menanamkan kesadaran diri seseorang akan arti perbedaan
antarsesama manusia, berbagai budaya dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya.
Dalam pandangan Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi (2004; 191-192), ciri-ciri
dari pendidikan multikultural adalah: (a) tujuannya membentuk “manusia budaya”
dan menciptakan “masyarakat berperadaban” (berbudaya); (b) materinya
mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai
kelompok etnis (kultural); (c) metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek
perbedaan dan keragaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis),
dan; (d) Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik
yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Kurikulum
dan materi pendidikan Agama Islam bagaimana pun tidak dapat terlepas dari
dimensi perkembangan dan nilai-nilai pendidikan multikultural. Adapun komponen
yang termasuk dalam kurikulum pendidikan multikultural antara lain tentang
studi etnis, kelompok minoritas, gender, kesadaran kultur, hubungan antarsesama
manusia, dan pengklarifikasian nilai-nilai dalam suatu kebudayaan. Hal-hal
tersebut termasuk pula mengenai konsep rasisme, perbedaan jenis kelamin,
keadilan, diskriminasi, opresi, perbedaan dan semacamnya.
Pendidikan
Agama Islam yang terintegrasi dengan spirit pendidikan multikultural perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang toleran
dengan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks
perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kelompok. Oleh
karenanya, dalam upaya pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam harus
diperhatikan dimensi-dimensi berikut ini: Pertama, pembelajaran fiqih dan tafsir al-Qur’an tidak harus
bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqāran
(perbandingan). Ini menjadi sangat penting, karena
siswa tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum
dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang
berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan
pengetahuan (argumen-dalil) tentang mengapa bisa berbeda; Kedua, untuk
mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan lintas
agama. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan dialog antar agama;
Ketiga, untuk
memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam
menyelenggarakan program road show lintas agama dengan tujuan untuk
menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain; Keempat,
untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu
menyelenggarakan program seperti spiritual work camp, yaitu dengan cara
mengirimkan siswa untuk tinggal dalam sebuah keluarga selama beberapa hari,
termasuk kemungkinan tinggal pada keluarga yang berbeda agama.[25] Dalam program ini, siswa
harus melebur serta melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dalam
keluarga tersebut. Tujuannya adalah, agar siswa akan mempunyai kesadaran dan
kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.
Tidak
kalah pentingnya, Pendidikan Islam harus memandang iman yang dimiliki oleh setiap
pemeluk agama adalah bersifat dialogis, artinya iman itu bisa didialogkan
antara Tuhan dan manusia dan antara sesama manusia. Melalui suasana pendidikan
seperti itu, akan terbangun suasana pergaulan dalam kehidupan beragama secara
dewasa, tidak ada perbedaan yang berarti, tidak dikenal superior ataupun
inferior, serta memungkinkan terbentuknya suasana dialog yang memiliki
peluang untuk membuka wawasan spritualitas baru tentang keagamaan dan keimanan
masing-masing. Hal ini bisa diajarkan lewat pendidikan akidah yang inklusif.
Pengajaran agama seperti itu, menuntut untuk bersikap objektif sekaligus
subjektif. Objektif, maksudnya sadar bahwa membicarakan banyak iman secara fair
itu tanpa harus meminta pertanyaan mengenai benar atau validnya suatu agama. Subjektif
berarti sadar bahwa pengajaran seperti itu sifatnya hanyalah untuk mengantarkan
setiap peserta didik memahami dan merasakan sejauh mana keimanan tentang suatu
agama itu dapat dirasakan oleh orang yang mempercayainya.
D. F.
FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT WAWASAN MULTIKULTURAL DALAM PAI.
Sebagai
sebuah wacana baru, pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural tentunya
memiliki faktor pendukung dan penghambatnya. Diantara faktor pendukung
dikembangkannya pendidikan Agama Islam berwawasan multikultural adalah: (1)
adanya landasan kultural dan theologis dari al-Qur’an maupun al-Hadits
terhadap nilai-nilai multikultural, yaitu: nilai kejujuran dan tanggungjawab (al-amanah),
keadilan (al-adalah), persamaan (al-musâwah), permusyawaratan
dan demokrasi (al-syurâ atau al-musyawarah), nilai
solidaritas dan kebersamaan (al-ukhuwwah), kasih sayang (al-tarâkhim
atau al-talathuf), memaafkan (al-’afw), perdamaian (al-shulh
atau al-silm), toleransi (al-tasamûh) dan kontrol
sosial (amr al-ma’rûf nahy ‘an al-munkar); (2) nilai-nilai multikultural
tersebut telah lama dikenal dan diajarkan di lembaga pendidikan Islam, terutama
penjelasannya dalam teks-teks klasik (al-kutub al-mu’tabarâh) yang lazim
digunakan di pondok pesantren; (3) rakyat Indonesia telah memiliki sejarah yang
panjang mengenai pluralisme dan multikulturalisme karena bangsa Indonesia
dikenal sebagai bangsa yang religius dan multikultur, dan; (4) terbentuknya
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai tempat untuk memecahkan kebekuan
komunikasi dan kerjasama antar umat beragama di beberapa daerah menjadi angin
segar terhadap pemahaman agama yang inklusif, toleran dan sejalan dengan
semangat pendidikan multikultural.
Sementara
yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pendidikan Agama Islam berbasis
multikultural adalah: (1) masih terbangunnya mindset (kerangka berpikir)
yang keliru dalam memahami paham/aliran-aliran kontemporer terkait dengan
ajaran agama. Munculnya fatwa MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) tentang larangan /
haramnya paham pluralisme sedikit banyak menghambat upaya pencapaian pendidikan
multikultural tersebut; (2) masih merebaknya konflik, baik antarumat agama
maupun interumat agama itu sendiri serta fundamantalisme pemikiran yang masih
bertahan pada pemikiran lama yang ekslusif – fundamentalis dan
berpandangan bahwa kelompok (agama) lain adalah sesat sehingga harus disatukan;
(3) lebih menonjolnya semangat ke-ika-an dari pada ke-bhineka-an
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta kurangnya pengakuan terhadap
keberadaan dan hak agama, suku dan golongan lain; (4) belum tertanamnya
kesadaran bahwa menganggap agama, kelompok/suku yang satu “lebih baik”
dari yang lain adalah pandangan sempit yang offensive, dan
karenanya harus ditinggalkan; (5) pengajaran PAI berwawasan multikultural belum
terkonsep dengan jelas terkait dengan kurikulum dan metodenya; (6) guru-guru
agama Islam di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan
agama nyaris kurang tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus
pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme, multikulturalisme dan dialog
antarumat beragama, dan; (7) kurangnya pemahaman terhadap multikulturalisme dan
pluralisme sebagai desain Tuhan (design of God) yang harus diamalkan
berupa sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi multikulturalisme dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lepas dari
faktor pendukung ataupun penghambatnya, pendidikan Agama Islam berwawasan
multikultural merupakan sebuah keniscayaan yang mendesak untuk segera
diimplementasikan untuk mewujudkan –istilah Gus Dur- “republik surga di bumi”,
yaitu tatanan kehidupan yang penuh dengan harmonisasi, keramahan, kesantunan,
kerukunan dan kedamaian. Sebuah idealisme dalam kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar