Pembumian wacana multikulturalisme pada ranah pendidikan formal
(sekolah) dewasa ini semakin menggeliat. Maraknya gagasan
multikulturalisme disertai dengan penyebaran isu pendahuluan: banyaknya
peristiwa bentrokan dan konflik horizontal di tengah masyarakat.
Berbagai pihak kemudian menyuarakan gagasan ini lebih keras dan
diimplementasikan lebih dini dalam kurikulum pendidikan.
Lebih
jauh lagi, kini, paham multikulturalisme mulai diintegrasikan pada ranah
pendidikan agama. Alasannya, seperti dikemukakan dalam buku Pendidikan
Multikultural; Konsep dan Aplikasi, Pendidikan Agama Islam yang ada saat
ini dianggap sudah tidak relevan dan telah gagal menciptakan harmoni
kehidupan dan bahkan menjadi pemicu konflik di tengah masyarakat plural
(Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, 2008:15).
Kementerian Agama RI pun telah menerbitkan sebuah buku berjudul
“Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada
SMA dan SMK” – selanjutnya disingkat Panduan Integrasi. (Diterbitkan
dengan kerjasama dengan Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia
(AGPAII), TIFA Foundation dan Yayasan Rahima).
Jika ditelisik lebih jauh, penanaman paham multikulturalisme – apalagi dalam ranah Pendidikan Agama Islam – sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang mendalam. Sebab, dalam perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis. Berikut ini sejumlah catatan kritis atas multikulturalisme:
Jika ditelisik lebih jauh, penanaman paham multikulturalisme – apalagi dalam ranah Pendidikan Agama Islam – sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang mendalam. Sebab, dalam perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis. Berikut ini sejumlah catatan kritis atas multikulturalisme:
Pertama,
persoalan makna istilah. Multikulturalisme memiliki rentang definisi
yang beragam mulai dari sekedar pengakuan terhadap realitas
multikultural masyarakat dunia saat ini; upaya untuk menerima dan
menghormati realitas itu; hingga pada pengertian yang merefleksikan
relativisme kebenaran dan relativisme agama. Kecenderungan dominan dalam
beberapa buku, semisal buku berjudul Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural, istilah ini merefleksikan relativisme kebenaran dan
agama. Ini karena, multikulturalisme hakikatnya merupakan kelanjutan
dari paham inklusivisme dan pluralisme agama (Baidhawy, 2005: 69 &
117).
Jika pada inklusivisme, integritas agama tertentu masih dipertahankan sekalipun ada pengakuan kebenaran pada yang lain, maka multikulturalisme dalam makna ini bergerak lebih jauh lagi: memungkinkan berbagi agama dengan yang lain. Dalam ide ini terkandung muatan sinkretisme agama. Bahkan, bukan tidak mungkin, memunculkan agama baru bernama multikulturalisme.
Jika pada inklusivisme, integritas agama tertentu masih dipertahankan sekalipun ada pengakuan kebenaran pada yang lain, maka multikulturalisme dalam makna ini bergerak lebih jauh lagi: memungkinkan berbagi agama dengan yang lain. Dalam ide ini terkandung muatan sinkretisme agama. Bahkan, bukan tidak mungkin, memunculkan agama baru bernama multikulturalisme.
Kedua, kekeliruan
memahami agama Islam. Konsep multikulturalisme mendudukan Islam sebagai
agama yang sama dan sederajat dengan agama yang lain. Padahal Islam
sebagai agama (ad-din) berbeda dengan agama-agama yang ada di dunia ini.
Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang sampai sekarang
orisinalitasnya terjaga. Dalam istilah Prof. Naquib al-Attas: “Islam is
the only genuine revealed religion.” (al-Attas, Prolegomena to the
Metaphysic of Islam)
Islam bukan agama budaya dan bukan agama yang
dihasilkan oleh proses evolusi budaya. Demikian pula, sistem nilai dan
sistem pemikiran Islam bukan semata berasal dari unsur-unsur budaya dan
folosofis yang dibantu sains, tetapi berasal dari sumbernya yang asli
yaitu wahyu, dikonfirmasi oleh agama serta didukung oleh akal dan
intuisi. Islam sebagai agama final dan matang dari sejak diturunkannya,
tidak mengenal adanya proses penyempurnaan. Islam berbeda dengan
agama-agama lainnya -terutama agama bumi- di dunia ini yang lahir dari
sebuah evolusi. Sehingga, ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh
Allah dan Rasul-Nya adalah ketentuan final sebagai syari’at hidup
manusia menjalani penghambaan dan pengabdiannya kepada sang Khaliq.
Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Maidah (5) ayat 3. Sementara agama
lain, hanyalah berupa pengalaman spiritual seseorang atau sekelompok
orang dalam mencari sisi-sisi transenden untuk melengkapi kekosongan
nilai spiritual yang ada dalam dirinya.
Islam juga bukan agama
sejarah (historical religion). Islam adalah agama yang mengatasi dan
melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak.
Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang
dan akan datang. Nilai-nilai yang terdapat dalam Islam berlaku
sepanjang masa. Islam memiliki pandangan-alam mutlaknya sendiri yang
berbeda dengan agama lain. Pandangan-alam (worldview) ini meliputi
persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta, dan lain
sebagainya.
Ketiga, kekeliruan memahami
konsep-konsep penting dalam agama. Pemahaman keliru ini berimbas pada
sikap yang tidak tepat dalam mengatasi berbagai problema di masyarakat
terkait kehidupan beragama. Konsep-konsep yang dipahami keliru itu
seperti konsep Tuhan, konsep Wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits), konsep
truth claim (klaim kebenaran agama), toleransi, agama sama dengan
budaya, kalimatun sawa, dakwah Islamiyah, dan lain sebagainya.
Sebagai
contoh, dalam pemahaman multikulturalisme, klaim kebenaran (truth
claim) tidak boleh lagi digaungkan. Mereka beralasan bahwa klaim
kebenaran merupakan puncak dari semangat egosentrisme, etnosentrisme,
dan chauvinisme. Klaim kebenaran bagi paham ini dianggap sebagai
kelainan jiwa yang disebut narsisme (sikap membanggakan dan
mengunggulkan diri). Sikap klaim kebenaran inilah yang menurut kalangan
penggagas pendidikan multikulturalisme ini yang akan menghasilkan friksi
di masyarakat dan menimbulkan konflik. (Choirul Mahfud,2009: 9).
Padahal
dalam Islam, mengakui dan meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya
agama yang benar dan mempersaksikan keyakinan tersebut dihadapan Allah
SWT juga di hadapan manusia lainnya adalah keniscayaan yang harus
dilakukan. Selain sebagai bagian dari deklarasi kemusliman serta
kesiapan untuk tunduk dan patuh, persaksian tersebut menjadi media
dakwah pada manusia yang lain untuk sama-sama beriman dan berislam.
Islam mengajarkan prinsip hidup toleran tanpa harus meniadakan kebenaran
prinsip yang dipegang. Toleransi dalam Islam bukan berarti sepakat,
setuju, membenarkan ajaran agama lain, melainkan menghormati pemeluk dan
ajaran agama lain sesuai proporsinya. Proses saling menghargai dan
menghormati ini dilakukan sambil menegakkan prinsip ajaran agama,
nilai-nilai agama, dan kewajiban berdakwah dalam bingkai-bingkai yang
dianjurkan oleh agama itu sendiri.
Keempat,
kekeliruan memahami budaya dan kesederajatan. Konsep multikulturalisme
tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau
kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk (plural society). Karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam
kesederajatan. (Choirul Mahfud, 2009: 95).
Pemahaman seperti ini
mengharuskan masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis
diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak
ada yang lebih dominan. Karena semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai
kearifan tradisional yang berbeda-beda. Kearifan-kearifan (baca: ajaran,
nilai-nilai, kandungan, dan lain-lain) tersebut tidak dapat dinilai
sebagai positif-negatif dan tidak dapat dijelaskan melalui kacamata
kebudayaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang dan akar
baik-buruk dari setiap kebudayaan mempunyai volume yang berbeda pula.
Budaya
versi kalangan ini tidak terbatas dalam bidang seni, tetapi mencakup
segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas, meliputi
agama, ideologi, sistem hukum, sistem pembangunan, dan sebagainya.
(Choirul Mahfud, 2009: 205). Kalangan multikulturalis memaknai budaya
secara luas, bahkan termasuk agama di dalamnya. Maka, agama Islam,
Kristen, hindu, budha, jawa, sunda, batak, kapitalisme, sosialisme, dan
berbagai produk komunitas lainnya adalah budaya dan posisinya sejajar
dan sederajat. Islam tidak dapat menyalahkan agama lain, tidak dapat
menilai baik atau buruk agama lain karena posisinya sama. Begitu pula,
Islam tidak boleh mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar disisi
Tuhan karena hal demikian akan mencenderai semangat toleransi dalam
bingkai multikulturalisme.
Paham ini tidak membedakan antara
budaya baik dan budaya buruk karena semuanya dalam bingkai
kesederajatan. Sementara agama Islam tidaklah demikian. Islam memandang
tinggi budaya baik dan memandang rendah budaya buruk. Jadi dalam Islam,
persoalan budaya pun tetap dibingkai oleh nilai-nilai Ilahi yang
sifatnya mutlak dan harus jadi pedoman untuk menakar kualitas budaya
individu maupun kelompok.
Bahaya lebih jauh adalah persepsi bahwa
budaya bukanlah suatu kemutlakan yang harus dipertahankan, termasuk
agama di dalamnya. Budaya dipahami sebagai sebuah gerak (move)
kreatifitas masyarakat yang dibangun oleh gerakan prinsip-prinsip yang
berbeda yang kemudian membentuk sebuah kesepakatan bersama tentang
nilai, pandangan, dan sikap masyarakat (reinventing). Dalam arti, budaya
tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu
sendiri yang tentunya dipengaruhi oleh faktor ekstern yang mengelilingi
kehidupannya (Wahid, 2001: 77).
Jika pemahaman ini diaplikasikan,
maka yang terjadi adalah agama dan nilai-nilai yang terkandung
didalamnya bukanlah sesuatu yang mutlak dan final. Nilai-nilai atau
kandungannya akan dan harus selalu berevolusi seiring sejalan dengan
evolusi masyarakat yang berbeda dari waktu ke waktu. Jika demikian yang
terjadi, sendi-sendi ajaran agama khususnya Islam lambat laun akan
hilang dan punah. Terganti oleh nilai-nilai kreatif buatan manusia yang
justeru akan membahayakan eksistensi kemanusiaannya itu sendiri dan
eksistensi kehidupan secara keseluruhan.
Kelima,
agenda buruk globalisasi. Pendidikan multikulturalisme dalam ranah
agama patut diduga merupakan agen taktis untuk memuluskan penjajahan
nilai-nilai sekular-liberal di era globalisasi. Nilai-nilai
sekular-liberal dapat mengikis dan menghancurkan pemikiran dan keimanan
umat Islam. Globalisasi bukan hanya melahirkan penjajahan ekonomi tetapi
juga penjajahan pemikiran, budaya, nilai dan tradisi.
****
Lebih jauh lagi, gagasan multikulturalisme ini dengan tegas menyatakan bahwa negara sekuler-liberal merupakan jawaban atas keberagaman agama seperti yang terdapat di Indonesia. Yang demikian karena menurut mereka negara sdkular-liberal posisinya netral dan mampu memberikan equal opportunity kepada keanekaragaman agama.
Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama dapat mengikis keyakinan beragama umat Islam yang benar yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Keyakinan tersebut diubah dengan pemahaman keagamaan yang semata-mata rasional, memenuhi dimensi sosiologis dan antropologis manusia semata. Maka, ketika proses ini berhasil dijalankan, akan memudahkan kalangan sekular-liberal untuk melanjutkan cengkraman penjajahan peradabannya kepada negeri-negeri Muslim.
****
Lebih jauh lagi, gagasan multikulturalisme ini dengan tegas menyatakan bahwa negara sekuler-liberal merupakan jawaban atas keberagaman agama seperti yang terdapat di Indonesia. Yang demikian karena menurut mereka negara sdkular-liberal posisinya netral dan mampu memberikan equal opportunity kepada keanekaragaman agama.
Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama dapat mengikis keyakinan beragama umat Islam yang benar yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Keyakinan tersebut diubah dengan pemahaman keagamaan yang semata-mata rasional, memenuhi dimensi sosiologis dan antropologis manusia semata. Maka, ketika proses ini berhasil dijalankan, akan memudahkan kalangan sekular-liberal untuk melanjutkan cengkraman penjajahan peradabannya kepada negeri-negeri Muslim.
Jika konsep pendidikan multikulturalisme seperti hasil
temuan penulis yang diutarakan di atas, maka pendidikan ini akan sangat
berbahaya pagi siswa didik muslim. Dengan paham semacam ini, peserta
didik dijauhkan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan agama
Islam sejatinya adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa,
berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya
kitab suci Al-Qur’an dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman. (Ramayulis, 2010: 21).
Pendidikan
agama dalam Islam adalah pendidikan agama yang berbasis tauhidullah
dilandasi oleh semangat beribadah dan semangat dakwah dalam setiap
dimensi kehidupan manusia. Dalam Islam, seluruh perbuatan manusia
termasuk pendidikan, dibingkai oleh motivasi penyerahan total dirinya
sebagai hamba Allah dan khalifatullah. Inilah hakikat pendidikan dalam
pandangan alam Islami yang perlu diejawantahkan dalam dunia pendidikan
dewasa ini.
Secara konseptual dan fakta sejarah, Tauhid Islam
senantiasa sinergi dengan kerukunan. Karena itu – berbeda dengan kondisi
di dunia Barat – wacana multikulturalisme tidak menduduki tempat
penting. Maka, seyogyanya, para cendekiawan Muslim tidak mudah hanyut
dalam gegap gempita paham-paham baru yang dapat berdampak negatif pada
pemahaman Islam yang benar. Wallahu’alam bil-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar