Senin, 12 November 2012

Konseptual Pembelajaran (Lintas Budaya) Multikultural


encompassindonesia.wordpress.com
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll.
Pendidikan multuikultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsipprinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya (Banks, 1993). Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda.
Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Kerangka konseptual yang digunakan untuk mengembangkan model pendidikan multikultural terdiri dari tiga unsur. Pertama, uraian secara konseptual tentang asumsi teoritik (premis) yang digunakan untuk mengembangkan pendidikan multikultural. Kedua, definisi tautologis dan oprasional tentang pendidikan multikultural. Ketiga, pembahasan pedoman umum dalam menterjemahkan teori ke dalam sebuah tindakan mendidik (educational endeavors). Keempat, prinsip dasar pengembangan silabus dan model pembelajaran multikultural berdasarkan kompetensi.
Premis (Asumsi Teoritik)
Asumsi teoritik yang digunakan dalam mengembangkan model pendidikan dan/atau program pembelajaran multikultural adalah sebagai berikut.
Pertama, bahwa sekolah-sekolah belum sepenuhnya terpenuhi kebutuhannya, baik itu kebutuhan sosial maupun kebutuhan akademiknya. Substansi pembelajaran (materi pelajaran) di sekolah belum sepenuhnya digali dari khasanah sosial dan kultural esensial (suku, agama, ras, tradisi, kearifan lokal dan sebagainya) masyarakat, khususnya masyarakat minoritas termasuk yang miskin, yang tidak/kurang berpendidikan, maupun yang berspektif jender. Dikebanyakan masyarakat Indonesia, wanita sering memperoleh peran dan kedudukan tak adil dibandingkan pria. Perlakuan kurang adil disebabkan oleh harapan masyarakat yang bersifat stereotip, akibatnya wanita menjadi subordinasi kaum pria. Konsekuensinya maka kurikulum pendidikan multikultural mengandung unsur-unsur keadilan gender, suku, agama, ras maupun kelompok-kelompok minoritas.
Kurikulum pendidikan multikultural dirancang sedemikian rupa sehingga menyediakan kesempatan untuk memperoleh dan menikmati pendidikan bermutu dan tidak segregatip. Praktek-praktek kurikulum yang segregatip
akan melanggengkan dan meligitimasi ketimpangan dan disparitas dalam masyarakat (Hamilton, 1973; Amoda, 1972; McCoy, 1970; Fantini, 1970; Baumann, 1999).
Kedua, bahwa lingkungan sosial pebelajar justru sering mengorbankan hampir semua kebutuhan dan jati diri pebelajar di sekolah. Suzuki lebih lanjut berpandangan bahwa: “The sociocultural milieu of the schools has victimized all students by reinforcing and perpetuating prejudicial attitudes and values, and inadequately developing their capacity for understanding and critically analyzing pressing social problems, thereby, giving them little help in developing the moral commitment and the necessary skills for the building of a more equitable and therefore, better society (1979:47).
Ketiga, bahwa dengan semakin banyaknya kampanye, kothbah atau ceramah tentang nilai-nilai seperti demokrasi, kebebasan, keadilan, persamaan derajat dan sejenisnya, maka struktur sosial sekolah akan dapat mempromosikan nilai serta prilaku yang baik dan ideal. Misalnya, sistem penjurusan atau kegiatan lomba sering memiliki dampak terbalik (counter productive) terhadap nilai kerjasama, altruistik dan elitis. Sebaliknya struktur sekolah yang egalitarian sering menciptakan suasana konformitas, loyal, setia, taat dan sejenisnya, yang sesungguhnya membunuh sikap memberdayakan diri (Harsono, 2000; Sumartana, 2001; Suparlan, 2001; Susetyo, 2001). Sepatutnya sekolah sebagai tempat pembelajaran bagi siswa dari berbagai kultur yang berbeda-beda, sebab melalui proses belajar mengajar melahirkan tingkah laku sosial, menyepakati norma dan nilai bersama membangun struktur kelembagaan.
Keempat, bahwa sekolah tidak dapat menghindar dari kegiatan mentransmisikan nilai kepada anak didik. Banyak nilai-nilai luhur ditransmisikan lewat kurikulum tersembunyi (Widja, 2001; Hasan,2000). Dalam anggapan ini terselip pula anggapan bahwa tidak seorang pendidikpun yang luput dari kewajiban untuk mentransmisikan nilai kepada anak didik. Pendidikan multikultural bertujuan untuk ‘promoting some rather explicit values such as democracy, freedom, equality and resfect for diversity’ (Suzuki,1979; cfWCEFA, 1999; UNESCO, 1992). Demikian pula anak didik diasumsikan bersikap bebas, tidak ada beban psikologis dan merasa terdorong untuk bertanya atau mengkritisi nilai-nilai tersebut dan bebas untuk menerima atau menolak nilai-nilai yang disodorkankepadanya. Dalam asumsi ini terkandung sikap dan unsur kreatifitas, produktifitas dan kemandirian pada anak (Ford, 1979; Gay, 1977).
Kelima, sekolah memiliki kemampuan untuk beroperasi sendiri dalam mentransmisikan nilai-nilai luhur tersebut, maka dari itu sekolah hanya berfungsi sebagai wahana utama perubahan sosial. Peran pendidik yang paling utama adalah membantu siswa untuk dapat mengkonseptualisasikan dan mengaspirasikan sebuah masyarakat yang lebih baik. Pendidik juga memiliki peran membantu siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, pemahaman yang memungkinkan perubahan perubahan yang diperlukan. Pendidik diasumsikan dapat meningkatkan kualitas sekolah bagi kepentingan siswa secara historis selalu dimarjinalisasi.
Referensi:
Al-Hakim, Suparlan. 2002. Strategi Pembelajaran Berdasarkan Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT), P3G, Dirjen Dikdasmen.
Ali, Muhamad. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Banks, J.A. 1993. “Multicultural Educatian: Historical Development, Dimentions and Practrice” In Review of Research in Education, vol. 19, edited by L. Darling- Hammond. Washington, D.C.: American Educational Research Association.
Jary,D dan Jary,J. 1991. Multiculturalism. Dictionary of Sociology. New York: Harper.
Salamah, Husniyatus. Pendidikan Multikultural: Upaya Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah.
http://www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Husniyatus%20Salamah.doc. diakses 22 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar